Slider Background

Your Blog Welcome Text

Blog Persaudaraan
Tempat Berbagi: Dari Kita - Oleh Kita - Untuk Dunia
Showing posts with label Refleksi & Opini. Show all posts
Showing posts with label Refleksi & Opini. Show all posts

Thursday, April 6, 2017

Perjumpaan pertama dengan Kapusin

Perkenalan ini, terjadi ketika Kapusin merayakan pesta Jubelium seratus tahun di tanah belantara Kalimantan, tepatnya di Kota Singkawang. Biasalah, awal perjumpaan ini, di awali dengan kekaguman kepada saudara-saudara Kapusin, yang mengenakan jubah coklatnya. Suasana perayaan berjalan dengang baik, hingga aku tertegun pada perbincangan nuntius yang tidak sempat ku ingat namanya. Sebagai pembicara, maksudnya penerjemah waktu itu adalah Pater William Chang. Kekagumankupun semakin bertambah. Luar biasa pikirku. Sempat terlintas dalam benakku; “kapan aku bisa menjadi dia yang bisa berbicara untuk orang banyak yang tidak mengerti menjadi tahu”.

Perkenalan berikutnya, kutemukan ketika aku mengunjungi Stan Pameran tentang perjuangan para missionaris pertama serta karya dan kerasulan mereka di tanah Borneo. Ketika saya sampai ke tingkat dua, aku melihat papan kecil yang bertuliskan “Bagi yang ingin bergabung bersama Ordo Saudara-saudara Dina Kapusin, bisa menghubungi secretariat Propinsi Kapusin Pontianak” dan seterusnya. Begitulah kurang lebih ajakan itu kepadaku. Tertarik! Ya. Tapi tidak tahu apa itu?

Kapusin itulah yang sering didengungkan oleh Pastor Paroki ku saat itu, ketika ia “merayu” aku untuk masuk dalam persaudaraan Kapusin, ketika aku menyatakan niat untuk masuk TOPANG atau Retorika di Nyarumkop. Pendeknya aku masuk Kapusin karena pastor Paroki. Tapi, memang sebelumnya aku tidak mengerti apa-apa tentang IMAM atau Pastor. Bagiku, semua pastor itu sama tidak ada bedanya. Apakah ia seorang Kapusin atau seorang imam Diosesan, dan lain-lain. Tapi suatu keberuntungan yang amat besar, ketika aku masuk menjadi anggota tarekat religious ini. Karena aku langsung mendapatkan teman yang karakter dan spiritualitasnya hampir sama, meskipun tidak mirip.

Siapa dan Apa Itu Kapusin?

Apakah Itu Kapusin untuk saat itu aku tidak tahu. Dan, sampai sekarang jika ditanyakan apa itu kapusin jawabanku pasti masih dalam mengambang. Pertanyaan tersebut, meminta suatu pemahaman dan sekaligus pengertian. Pemahaman berarti diandaikan tahu dan mengerti. Ya, seandainya ini menjadi pertanyaan yang mendalam harus ku akui secara jujur aku belum sepenuhnya mengerti secara mendalam dan betul-betul memahami apa itu Kapusin?. 

Setahuku Kapusin itu adalah cara hidup yang saat ini ku hidupi, ku jalani dan ku pilih menjadi sarana untuk mencapai kebahagiaan. Kapusin yang ku hidupi adalah pola hidup komunitas yang menggaris-bawahi hidup dalam persaudaraan “Be Brother For All”. Lebih spesifik hidup persaudaraan ini adalah hidup membiara yang membaktikan diri pada Allah dan sesama. Kapusin itulah sekarang jiwaku dan ragaku. Aku tidak akan bisa terpisah daripadanya. Karena ia telah menjadi bagian dari diriku. Dan sekarang aku dalam tahap penyempurnaan untuk menuju KAPUSIN itu. 

Hidup yang berjanji?

Hidup kok harus berjanji? Begitulah seloroh yang sekaligus permenungan dalam hidup ini. Terlebih bagi diriku. Mengapa harus berjanji? itulah yang dilontarkan orang yang tidak tergabung dalam cara hidup ini. Kata-kata tersebut dulunya juga menjadi pertanyaan bagiku. Sekarang Janji itu menjadi bagian yang sangat penting dalam hidupku.

Kaul atau janji yang ku ikrarkan dan ku hidupi sekarang ini, secara sadar ku ucapkan di depan publik. Dan janji itu berbunyi untuk setia kepada Injil dan Tuhan. Kaul tersebut menjadi pengikat yang sangat erat dalam persaudaraan Kapusin. Dan melalui Kaul itu semua menjadi sama sebagai saudara. Seraya itupula Kaul menjadi cerminan bagi saya untuk melihat kebahagiaan yang akan datang. Sembari berkontemplasi dalam kehiruk-pikukkan hidup.

Kaul-kaul yang ku hidupi memberi suatu “kebebasan” kepada ku untuk menjadi TAAT, MURNI dan MISKIN. Kaul-kaul ini memberikan suatu pembelajaran sekaligus mengajarkan hidup,  dihadapan Allah dan sesama. Serentak juga membentuk kedewasaan dan kemandirian.

Kaul menjadi “SIM” bagiku untuk terus maju sebagai laskar Kristus seturut teladan hidup St. Fransiskus dari Assisi di dalam Ordo Kapusin, untuk mewartakan kabar Gembira kepada semua makhluk insani. Janji untuk hidup miskin, murni dan taat serentak meminta aku untuk hidup berkomitmen dan bertanggung jawab atas hidup yang telah diberikan. Memang harus ku, akui untuk menghidupi ketiganya bukanlah hal yang gampang, namun juga bukan berarti sesuatu yang sulit. 

Pergulatan Ketiga Kaul

Ketiga kaul yang ada di dalam persaudaraan Kapusin, bukanlah sesuatu yang gampang untuk dihidupi, karena aku hidup di dalam dunia yang real, nyata. Duniaku ini menyuguhkan banyak hal yang senantiasa menantang adrenalin, memikat mata, dan menggoda jiwa. Dunia hidupku, adalah dunia yang semakin hari semakin menunjukkan ‘keelokkannya” zaman, terus memacu otak ku untuk terus “berkontemplasi” dalam hayal dan renunganku.

Hingga saat ini. Bisakah aku melangkah dengan ringan, sementara banyak hal yang menjadi beban yang sekaligus membuat aku melanyang. Terkatung-katung antara langit dan bumi. Kiranya kaul yang ku hidupi ini akan menjadi jawaban yang pasti. Lascar iblis datang bagai kawanan burung yang berhijrah di musim dingin. Ketika kunyatakan diriku siap untuk berperang melawan mereka. Setan menampakkan keelokkannya melalui hobi-hobiku, kesukaanku, dan keburukkannya pada sikap kebenciannkku. Setan pintar berubah rupa. Tapi aku tetap memiliki Allah yang juga siap menyatakan damai bersama mereka di dalam aku sehingga aku tidak memusuhi hobiku dan kebencianku.

Tidak gampang bukan berarti sulit. “Gampang” dapat ku katakana demikian, karena persaudaraan yang telah merawat dan mengasuh aku membekali diriku dengan ilmu dunia yang dinamakan dengan Ilmu Pengetahuan. Dengan Ilmu ini, persaudaraan mendidikku untuk hidup menjadi bijak dan sana. Tahu berbuat dan bertindak. Dapat mengerti dan tahu. Baik dan benar. Ilmuku adalah salah satu jalan hidup yang diberikan untuk mencapai kematangan dalam hidup berkaul. Melaluinya aku diminta untuk mengolah semua yang nyata dan maya, melalui ilmu itupula aku diminta untuk dewasa. Dengan pengetahuan dan ilmu yang kumiliki memberikan kematangan untuk berdistansi dengan dunia nyata dan maya.

Kerap dalam pertanyaan batin ini, berkata: “mengapa mereka yang telah mendapatkan pengetahuan yang baik dan benar, justru menyimpangkan pengetahuan itu?, bukankah seharusnya mereka menjadi lebih bijaksana dibanding dengan kakek dan nenek ku yang tidak mengenal pengetahuan”. Apakah ada yang salah? Hati ku kembali berbicara. Perkataan hati ini serentak menantang dan mengingatkan aku. Sungguhkah aku akan menjadi orang yang berilmu dan berpengetahuan?

Keyakinan

Keyakinanku kepada Allah dan Persaudaraan Kapusin. Keyakinan ini tidak akan memberikan kekecewaan, sebaliknya menghantar aku pada pembebasan, kemerdekaan dan kebahagiaan. Allah akan senantiasa menemani dan menuntun aku. Ia akan mengarahkan aku pada kehendak-Nya. Sedangakan aku yang senantiasa dikuasai keegoisan ini, akan terus menemukan cara untuk memberikan signal, tanda kepada Allah, agar Ia bisa menemukan aku yang masih tinggal dalam kekelaman dunia ini. Dan, dengan-Nya aku akan berkumpul bersama domba-domba yang lain dalam satu kawanan dan satu Gembala yaitu Kristus Yesus. 

Sedangkan, Persaudaraan Kapusin akan terus membentuk aku menjadi seorang saudara yang mampu melanjutkan karya dan cita-cita pendiri Ordo ini, agar alam ciptaan di dunia ini tetap utuh dan harmoni. Persaudaraan ini akan banyak memberikan pengetahuan dan pengalaman hidup bersama Allah melalui sesama yang menderita, papa, miskin dan terpinggirkan. Harapanku ialah aku dapat tumbuh menjadi kuntum coklat yang berbuah matang dan menjadi bibit coklat  yang baru. Karena aku yakin, Coklat ini akan memberikan warna dan keindahan tersendiri bagi banyak insan. - P. Aloysius Anong, OFMCap.



0
Baca Selengkapnya >>>
SALAM

Tidak terasa waktu terus berjalan dan menghantar aku pada tahun yang ketiga di BiKap Alverna – Sinaksak. Waktu memang tak pernah  berhenti. Ia terus berjalan pada aturan yang telah ditentukan bagi dirinya. Ia tidak akan pernah terpengaaruh oleh situasi ataupun keadaan. Sang waktu juga tidak pernah mau memberikan saat yang baik atau buruk. Ia tidak suka menunda apalagi berhenti. Ia tetap memiliki komitmen. Mengarungi pengalaman insan dunia, selama masih diberi kesempatan. Aku salah satu insan yang hidup di dalam serta berada bersama waktu. Setiap hari, dan waktu, aku telah dibekali banyak pengalaman dan permenungan. Dan pengalaman itu menjadikan aku sebagai aku yang sekarang menjadi aku.  Terimakasih sang waktu terlebih kepada-Mu sang pencipta waktu. 


HIDUP PERSAUDARAAN

Walau hanya tertulis aku mau berucap terima kasih kepada saudara-saudara tua, sebagai staf pendamping dan pengajar di BiKap Alverna dan STFT. Karena dengan segala kesabaran dan kebijkasanaan dan  contah teladan hidup mereka, saya semakin dimatangkan dalam menapaki panggilan sebagai biarawan Kapusin. Terimakasih Pater, Bruder, telah menjadi orang tuaku yang baik dan selalu mengarahkan aku pada jalan panggilan Fransiskan Kapusin. Aku beraharap Tuhan  yang Mahabaiklah membalas semua kebaikan dan kebijaksanaan kalian semua. Kuucapkan juga terimakasih atas ilmu-ilmu, nilai-nilai persaudaraan yang telah kalian wariskan. Semoga semua itu menjadikan aku semakin matang, dewasa dan bertumbuh dalam iman dan panggilan. 

Terimakasih juga aku ucapkan kepada saudara-saudara seangkatan, terlebih saudara-saudara seangkatan dari propinsi Kapusin Pontianak. Karena kalian semua kita saling mendukung dan mendoakan sehingga kita sama-sama berjuang hingga pada tahun yang ketiga sekarang ini. Terimakasih telah mau berbagi cerita dan pengalaman hidup kalian. Aku yakin cerita dan cita kita dapat terwujud di dalam panggilan Tuhan ini.

Untuk saudara-saudaraku tingkat I dan tingkat II sepropinsi terimakasih karena ada kalian aku merasa menjadi layak untuk melangkah ke tingkat IV di tahun ajaran ini. Doakan kami. Saudara-saudara muda di Alverna, suster, bapak, ibu, kakak-kakak dapur terimakasih semuanya karena berkat kehadiran kalian seluruh proses perkuliahan dan hidup doa, studi dan kerja dapat berjalan dengan baik dan lancar. 

Aku senang, bahagia dan bergembira bisa hidup bersama di Komunitas Alverna. Meskipun banyak hal yang terkadang membuat aku kehilangan diriku. Namun dengan itu pula menjadikan aku banyak belajar. Terlebih belajar berdistansi, mendalami dan mengenal diriku. Ku sadari hidup persaudaraan yang kuhidupi ini banyak mengubah cara pandang pola pikir dan cara bertindak dalam proses pengolahan hidup pribadiku. Dengan perjalanan bersama waktu dan bersama kalian saudara-saudara, aku semakin mampu menyadari siapa aku sebagai aku dihadapan sang AKU. Semoga kegembiraan, kebahagiaan di komunitas ini terus menemani dan mengiringi perjalananku selanjutnya.

Hidup persaudaran di Alverna memang unik. Disinilah aku menemukan banyak karakter yang tidak kalah untuk mewakili kehidupan di luar biara. Semua kompleks. Ada tua, ada muda, ada dewasa, ada setengah dewasa, ada yang jujur ada yang berpura-pura, ada yang rajin dan ada yang malas-malasan. Ada yang rendah hati dan ada yang egois. Ada yang bijaksana dan ada yang plin-plan. Dan lain sebagainya. Karakter-karakter diatas sepertinya “dikondisikan” untuk membuat setiap pribadi untuk mampu belajar dan menimba kekuatan dan kehidupan plural. Disatu sisi menjengkelkan, namun disisi lain (positif) mengasyikkan. Bagi saya secara pribadi, setelah merenungkan ini secara tenang, saya merasa bersyukur. Sebab aku yakin kehidupan diluar sana akan menampilkan karakter-karakter yang lebih hebat dan tanpa kompromi. Keadaan seperti bagiku adalah tantangan dan materi pembelajaran yang lumayan merepotkan.



DUNIA KAMPUS

Kampus adalah rumah kedua selama proses pendidikan di STFT. Separoh hari dalam seminggu ku habiskan disini. Kampus adalah rumahku. Rumah tempat aku dibentuk seperti tanah liat, tempat pembinaan bagi yang mencari kebenaran, dan  kebijaksanaan, dan sarana yang ideal untuk menyalurkan kreativitas dan afeksitas. Kampus menjadi saluran ber-relasi dan berpastoral. Kampus memberikan konstribusi yang cukup memadai sebagai wadah, locus, untuk menempa dan membentuk pribadi yang berkualitas dan modernitas.
Memang kampus tidak memberikan umpan yang baik untuk menangkap ikan yang hendak ditangkap, tetapi mereka memberikan mata pancing yang berkualitas wahid, untuk menangkap berbagai macam ikan yang hendak ditangkap dengan pancing. Bagi saya, mata kail, yang hebat itu adalah suatu modal yang sangat menentukan saya, sebagai pemancing yang akan menangkap banyak ikan.


Dunia Kerasulan

Pada tahun ketiga kali ini, kami diminta untuk menggunakan mata kail yang telah diberikan; yakni kerasulan ke stasi dan memberikan rekoleksi, serta retret. Kegiatan-kegiatan tersebut salah satu umpan yang coba diberikan, sepenuhnya dipercayakan kepada kami untuk mengolah, memanfaatkan dan menggunakannya sebagai media untuk mengembangkan diri. 

Namun yang paling mengesankan bagiku ialah kerasulan, karena tugas ini, kami laksanakan selama kurang lebih dua semester. Dalam kerasulan banyak hal yang membuat saya belajar dan mengalami cara beriman kepada Yesus, yang setiap hari kami pelajari di kampus. Yesus yang kami kenal di kampus ternyata sedikit berbeda dengan pribadi Yesus yang di imani. Yesus di stasi (melalui perjumpaan dengan umat) ternyata memberikan pengertian akan hidup di dalam sesama tanpa pamrih, dan penuh dengan kesederhanaan. Ia nyata. Ada bersama dengan aku.

Karena itu pengalaman kerasulanku berbeda dengan pengalaman kerasulan dengan teman-teman yang lain. Umat yang kukunjungi setiap dua kali dalam satu bulan menggambarkan suatu kerinduan saya untuk bertemu dengan Dia, yang selalu berbicara dan mengajar. Sebab melalui pembicaraan dan pengajaran itu, aku juga bisa berkata-kata dan sedikit memberikan pembelajaran kelak.


HIDUP DALAM KETIGA KAUL

Kaul yang hampir satu tahun yang lalu ku ikararkan memberikan arah dan pertolongan yang berarti dalam menjalani hidup panggilanku sebagai biarawan Kapusin dan sekaligus Mahasiswa di kampus. 


Kaul Ketaatan

Dari kata ketaatan sepintas ditelinga memang mengerikan. Itu berarti kita harus berjalan seperti robot alias kaku. Sebab kita harus senantiasa taat kepada perintah dan pimpinan yang dipercayakan kepada kita. Namun bagi saya, dengan ketaatan mengajarkan aku, akan satu nilai yang tidak bisa terwakilkan hanya lewat kata-kata. Sebab ketaatan bukanlah hal yang abstrak melainkan nyata, konkret, real. Secara analisis phenomenologis kata taat, memang abstrak. Tetapi bukan itu yang dimaksudkan dengan ketaatan. Ketaatan menghendaki suatu tindakan yang membebaskan namun terarah pada bentuk yang terbatas. Ketaatan mengajarkan aku untuk bercermin kepada Dia yang menjadi pelaku ketaatan yang sejati: Yesus.


Kaul Kemiskinan

Kaul yang kedua ini, telah memberikan banyak konstribusi dalam hidup sehari-hari. Sebab, dari kemiskinan, saya terbantu untuk dapat melihat sesuatu dari manfaat, dan kegunaannya serta akan kelangsungan mendatang. Kemiskinan juga mengajarkan sikap sederhana yang tidak mudah untuk dijalani di zaman modern ini. sebab tidak lagi pada tempatnya untuk tidak mengikuti perkembangan mode, dan life style, yang sungguh menjadi bagian dari kehidupan manusia modern. Namun dengan mendalami kaul ini, saya setia untuk mengenakan jubah coklat saya yang tampak lusuh dimakan usia. Biarlah orang berkata apa, tetapi saya bisa berbicara ada apa rupanya.
Kaul ini, sungguh memberikan suatu pencerminan yang tidak tanggung, namun menyeluruh. Sifat menyeluruh ini dimaksudkan untuk senantiasa berserah kepada Tuhan dan menjadikan diri “haus” akan cinta dan kasih dari Allah, yang tidak menyurutkan diri kita pada pencarian hidup yang sejati. Sebab saya sependapat dari banyak orang yang mengatakan bahwa hidup di dunia ini adalah suatu peziarahan, dan kelak kita akan sampai pada tujuan dan tempat yang definitif.

Kaul Kemurniaan

Hidup murni, barangkali impian semua orang. Sebab tidak ada seorangpun yang mau hidupnya diracuni, apalagi dinodai. Tetapi sayangnya kita telah ter-racuni dan ter-nodai, oleh situasi, lingkungan, dan meluas pada zaman. Saya tidak bisa memungkiri itu semua. Sekarang, yang saya lakukan ialah memperkecil kemungkinan untuk  keracunan dan tidak banyak terkena noda. Artinya saya masih dalam perjuangan yang luar biasa ketat dan senantiasa mengawaskan diri. Namun, saya yakin sang teladan kemurnian pasti akan membantu saya. Agar saya semakin mengarahkan diri pada kehendakNya, semakin mantap menapaki jejak-Nya.

Kemurnian, memberikan jalan kepada saya untuk menjadikan diri saya sebagai pribadi yang berintegritas, memiliki komitmen, serta mampu untuk berdistansi dengan pola hidup yang mapan dan menggairahkan. 


PENDALAMAN

Kehidupan yang ku jalani saat ini, tidak terlepas dari peran dan kuasa dari DIA tuan kehidupan. DIa selalu hadir dikala aku, memerlukan dan mengalami kesulitan. DIa menghadirkan diri lewat udara yang setiap hari kuhirup dan menjadikan aku hidup. Dia  mendengarkan doa-doaku, dan sekaligus menjawabnya walau aku sendiri tidak tahu. Dia telah menjadi teman sekaligus sahabatku, dalam kerinduan manusiawiku. Dia menjadi penyemangatku, saat aku lelah dan putus asa. Dapat ku katakan separoh dari diriku berasal dari DIA.

Kata-kataku tidak terlepas dari ucapan rasa syukur dan rasa terimakasih yang mendalam, kepada persaudaraan, dan terlebih kepada DIA yang telah sanggup memberi ruang dan gerak bagi ku untuk mengapresiasikan diri dalam hidup sebagai saudara bagi semua. Semoga aku mampu terus berkanjang dan menemukan sang Putri Kemiskinan yang sejati. Serta meneguk air dari mata air yang sejati. - P. Aloysius Anong, OFMCap.



0
Baca Selengkapnya >>>

Friday, February 3, 2017



1 Februari 2017 akan terpatri jelas dalam hati dan ingatan saya sebagai hari yang mengejutkan. Mengejutkan karena dalam masa-masa penuh konsentrasi menjalani ujian semester, saya menerima kabar wafatnya Pastor Mateus Sanding. Cukup mengejutkan karena selama satu setengah tahun terakhir, saya tidak pernah menerima berita tentang situasi gawat darurat yg mungkin sedang dia hadapi baik terkait dengan penyakit tertentu maupun usianya yang sudah lanjut.

1 Februari 2017 juga akan terpatri dalam-dalam sebagai hari yang mengecewakan. Mengecewakan karena saya sedang jauh dari kemungkinan untuk bisa hadir secara fisik bersama umat dan para saudara se-Propinsi di sisi jenasah beliau. Saya tidak bisa hadir dalam doa-doa bersama dan ikut menghantarnya ke Pemakaman. Saya hanya bisa membayangkan dari jauh bagaimana suasana duka dan sibuknya para saudara bersama umat. Ada cinta dan kerinduan yang sangat kuat untuk hadir secara fisik, tetapi Roma - Pontianak terlalu jauh.

Syukur bahwa walaupun sangat jauh jarak membentang, namun saya (bersama Pastor Harmoko, Pastor Viktor dan Bruder Willem) tetap merasakan dan menghayati persekutuan iman dan kesatuan hati dalam doa dan ekaristi untuk beliau. Perasaan dan penghayatan iman yang sama, saya percaya ada juga di setiap hati dan pikiran setiap saudara di Timor Leste, Philipina, Australia dan Selandia Baru. Untuk mengobati kekecewaan atas ketidakhadiran secara langsung, saya putuskan untuk menulis dan mengirim ucapan selamat jalan ini. Semoga Pastor Propinsial bisa menyampaikannya atas nama kami yang tidak bisa hadir.

Kenangan hidupku bersama Pastor Sanding tidak lama, hanya berlangsung selama satu setengah tahun. Itu terjadi ketika saya menjalani masa formasi sebagai frater TOP di paroki Menjalin dari awal desember 2003 sampai akhir juni 2005. Soal sapaan dalam interaksi dengan beliau, pastor Yeremias Melis biasa menyapanya “Pastor Sanding”. Pastor Frederic Samri, saudara Benediktus Benik dan saudara Silvinus Senan menyapanya “Pastor Sanding” atau “Kakek Sanding”. Para katekis dan petugas paroki umumnya menyapanya “Kakek” atau “Pastor Sanding”. Umat Paroki Menjalin umumnya menyapanya “pastor Sanding”. Ada juga sejumlah kecil umat yang menyapanya “Pak Sanding”. Saya sendiri mulai dengan sapaan “Pastor Sanding” utk minggu-minggu awal dan kemudian berani membiasakan diri menyapanya “Kakek Sanding”, sapaan yang saya gunakan sampai sekarang.

Dibandingkan dengan Pastor Yeri, kebersamaan saya sangat singkat. Mereka berdua pernah hidup bersama sebagai rekan sekomunitas di Paroki Menjalin selama lebih dari 25 tahun. Karena itu, dari segi lamanya, masa satu setengah tahun yang sudah saya lalui bersamanya seperti tidak berarti. Kenyataannya tidak demikian. Meskipun singkat, kehadirannya berkesan dan membekas kuat bagi pertumbuhan dan penguatan pilihan hidupku sebagai saudara Kapusin Propinsi Pontianak. Apa rupanya keutamaan-keutamaan Pastor Sanding yang sudah turut membantu menguatkan dan menumbuhkan semangat untuk pilihan hidupku sebagai saudara Kapusin?

Tentu ada banyak dan saya hanya akan bagikan 2 untuk kesempatan ini. Saya ingin mengawali 2 catatan hatiku dengan catatan sejarah tentang saudara kapusin pertama asal Monterado-Indonesia, almarhum Pastor Pacificus Bong Ofm Cap. Dalam buku A History of Christianity in Indonesia (hlm. 507), Karel Steenbrink memasukkan juga kutipan tentang kesaksian dari seorang saudara kapusin belanda, Gentilis Aster tentang saudaranya almarhum Pastor kita Pacificus Bong sebagai berikut:

“(He is) A small, quiet man with a soft voice and quiet manners. In company his presence was barely noticed, because he does not say much and only gives his opinion when asked for it. But then he would give it in short, but precise wording, identifying the matter in a touching way. Someone who knows how to listen, surprising everybody by his balanced wisdom free from emotions.”

Terjemahannya kira-kira demikian: “Dia adalah seorang pria berperawakan kecil dan pendiam, dengan suara yang lembut dan pembawaan yang tenang. Dalam kebersamaan, kehadirannya sering luput dari perhatian, karena dia tidak banyak bicara dan hanya memberikan pendapatnya kalau diminta. Saat diminta, dia akan menyampaikannya secara singkat namun dengan pilihan kata-kata yang tepat, mengacu pada pokok persoalan, dengan cara yang menyentuh hati. Dia seorang yang tahu bagaimana mendengarkan. Dan dia mengejutkan siapapun dengan kebijaksanaan yang seimbang, bebas dari belenggu perasaan dan prasangka.” Kutipan ini terlintas dalam benak saya ketika mencoba mengingat dan merenungkan kenangan-kenangan indah dalam hidup bersama sebagai saudara kapusin dengan Kakek Sanding.

Catatan hati pertama adalah Kakek Sanding sebagai figur kapusin yang gembira dan penuh sukacita. Setengah dari judul ucapan selamat jalan ini mengambarkan kekhasannya itu. “Semua Kembang Bernyanyi Riang” adalah judul lagu kesukaannya. Kita pasti kenal lagu itu karena nadanya sama dengan lagu “Semua Bunga Ikut Bernyanyi” dari Madah bakti no. 477. Saya diberitahu ketika menanyakannya langsung dalam satu kesempatan, lebih sebagai persiapan komunitas untuk tampil memeriahkan perayaan 100 tahun misi Kapusin di Indonesia. Masih ada 1 atau 2 lagu lain yang tidak bisa lagi saya ingat. Sejauh pengalaman saya, lagu “Semua Kembang Bernyanyi Riang” bisa dinyanyikan sendiri dengan penuh semangat oleh Kakek Sanding, lengkap dengan ekspresi wajah dan gerak tubuhnya. Beberapa kali saya ikut berbahagia karena menemaninya bernyanyi bersama iringan gitar. Saudara Senan pasti mudah mengingat kembali aksi rekreatif spontan ini, ditemani 1 botol bir untuk mereka berdua dan 1 kaleng lasegar untuk saya. Bagi saya, “Semua Kembang Bernyanyi Riang” menjadi ungkapan dari kegembiraannya yg alami sebagai kapusin, bersama semesta dalam pilihan hidup sebagai saudara, bersama dan dalam pelayannanya bagi saudara yang lain dan umat Allah.

Catatan hati kedua adalah Kakek Sanding sebagai figur kapusin yang bersaudara dengan semua orang dan memperlakukan semua orang dengan rasa hormat yang sama. Proses adaptasi dan integrasi saya ke dalam dinamika hidup komunitas kapusin dan gereja lokal di Paroki Menjalin menjadi relatif lancar karena banyak terbantu oleh kehadiran dan teladan Kakek Sanding. Sebagai kapusin muda yang datang dari luar Kalimantan, saya memerlukan waktu dan kondisi-kondisi tertentu yang memungkinkan tumbuhnya perasaan at home. Tuntutan untuk memulai hidup di tempat baru, bersama orang baru, dengan suasana yang baru selalu diawali dengan rasa asing dan was-was apakah akan di terima atau ditolak, dipandang dan diperlakukan sebagai bagian dari komunitas atau sekadar penumpang sementara. Saya harus mengakui bahwa perhatian, rasa hormat, kehangatan dan keramahan yang Kakek Sanding tunjukkan sejak hari pertama saya tiba di Menjalin (15 Desember 2003) sampai hari terakhir (26 Juni 2005), terutama di saat-saat sulit, membuat saya merasa “di rumah” dan bersama saudara.

Oleh karena itu, bersama semua kembang di taman hati dan alam lepas, hati saya bersyukur dalam nyanyian riang penuh syukur untuk kehadiranmu yang menyentuh, menggembirakan dan menguatkan dalam perjalanan sejarah pribadi setiap saudara dan saudari, juga sejarah kolektif kapusin dan Gereja Indonesia. “Semua Kembang Bernyanyi Riang: Selamat Jalan Pastor Sanding Tercinta” adalah sapaan kami semua untukmu. Saya menyapamu dan akan selalu mengingatmu sebagai “Kakek Sanding” tentu karena cocok untuk pria seusiamu yang memang sudah sepuh dan pantas kami panggil “Kakek”. Namun saya menggunakannya juga dengan perasaan dan makna lain yang lebih dari sekedar usia 81 tahun masa hidupmu. Saya menyapamu dan akan selalu mengingatmu sebagai “Kakek Sanding” lebih sebagai ungkapan kedekatan dan rasa kasih sayang sebagai saudara yang telah kau sentuh dengan kegembiraanmu yang alami, perhatianmu yang tulus, keramahanmu yang hangat, dan rasa hormatmu yang tidak membedakan warna dan umur.

Semoga bagi semua saudara dan umat,engkau akan selalu dikenang dan dirindukan sebagai pribadi kapusin dengan catatan sejarah yang baik seperti kutipan untuk almarhum Pastor Pasificus Bong. Bagi saya Kakek Sanding selalu menjadi “A great man with a loud voice but a gentle heart and quiet manners”. Mungkin benar bahwa dalam distribusi tanggung jawab pelayanan, Kakek Sanding selalu menjadi Pastor Pembantu Paroki dan tidak sekali pun mendapat tanggung jawab sebagai Pastor Kepala Paroki. Dengan demikian, bisa saja ada kesan bahwa “in company your presence was barely noticed, because you did not say much and only give your opinion when asked for it. Namun untuk saya “you always give it in short, but precise wording, identifying the matter in a touching way”. Saya menjadi saksi bahwa Kakek Sanding telah hadir sebagai someone who knows how to listen, surprising me and everybody by your balanced wisdom free from emotions. Selamat Jalan Kakek Sanding Tercinta! Semua kembang Bernyanyi Riang bersama doa dan cinta kami untuk mengiringi perjalananmu kembali ke rumah Bapa kita. Amin. - P. Isidorus Yoseph Jawa, OFMCap. (Roma, Jumat 3 Februari 2017)



0
Baca Selengkapnya >>>

Wednesday, March 16, 2016

Bagian fundamen dari terbentuknya masyarakat sekarang ini adalah kehadiran dari keluarga-keluarga kecil. Keluarga adalah mikrokosmos dari dunia makrokosmos. Kehidupan kecil di tengah kehidupan yang maha besar. Karena iu sebuah keluarga bisa kita katakan sebagai miniatur dari masyarakat yang luas.

KELUARGA
Keluarga adalah tempat persatuan/komunitas yang genuine, asli. Sebagai komunitas yang asli, keluarga berperanan penting untuk menata kehidupan baru. Keluarga menjadi pusat perkembangan person secara jasmani maupun rohani. Locus of attitude pertama dan menentukan. Disinilah wadah pemenuhan kehidupan moral dan keagamaan secara personal.

The family is the basic cell of society and for that reason the primery locus of humanization”. Keluarga menjadi sel/inti utama dari masyarakat. Dari padanya insan manusia baru di bentuk dan di beri pelajaran akan cinta kasih. Keluarga sebagai tempat yang sangat potensial dalam menanamkan nilai-nilai kemanusiaan. Keluarga menjadi instrumen yang paling mendasar serta memiliki power, untuk kebaikan anak di masa mendatang.

Peranan keluarga secara aktif sangat diperlukan, agar keutuhan keluarga yang bermartabat tetap utuh dan terjaga. Keluarga menjadi titik tolak untuk menentukan dan mengatakan tentang diri seseorang. “pantaslah dia begitu karena orangtuanya aja seperti itu”, “bagaimana mungkin dia bisa mengurus orang banyak, keluarganya saja tidak beres”, “kalau mau mencari jodoh lihatlah bibit bebet dan bobotnya”. Keutuhan, integritas dalam sebuah keluarga sangat berarti untuk membentuk suatu pola pikir yang baik dan berkualitas.

ANAK
Secara kodrati penyatuan antara pria dan wanita yang diikat dengan sebuah perkawinan adalah ingin menghadirkan kembali manusia baru di muka bumi ini. Menjadikan suatu masyarakat besar yang tidak terputus. Menjadi perpanjangan Allah dalam karya penciptaan dan pemenuhan kebaikan di muka bumi.

Allah memberikan tanda cinta yang paling nyata dalam sebuah keluarga ialah anak. Meskipun ada yang beranggapan kehadiran seorang anak di dalam keluarganya menjadi trouble maker. Maka ada yang mencoba mengadopsi hewan piaraan (Kucing, Anjing, kelinci) sebagai pengganti anak. Mereka tidak mau direpotkan dengan kehadiran seorang anak. Manusia yang adalah Citra dari Allah (Kej. 1:26) dianggap sebagai pembuat masalah. Tentulah paham ini, tidak akan mampu memberikan kontribusi yang berarti dalam tatanan hidup bermasyarakat. Hampir dapat dipastikan kehadiran mereka hanya sebagai penikmat bukan pemberi nikmat.

Dalam hal ini kita bisa bertanya, Apakah seorang anak yang lahir itu menjadi trouble maker? atau pasutri itu yang tidak lagi bisa membedakan manusia dan hewan dalam hidupnya? Anak adalah harta yang tidak ternilai dan tak tergantikan oleh apapun. Karena bagaimanapun juga, anak adalah generasi, pewaris kehidupan yang akan memberikan kehidupan kepada makhluk hidup yang lain.

TANTANGAN
Keluarga yang merupakan bagian kecil dari kehidupan di dunia ini, memiliki suatu tanggung jawab yang tidak kecil. Gaya hidup yang terus berkembang, memberikan pesonanya tersendiri. Ditambah lagi dengan banyaknya permasalahan yang cenderung berakibat pada kedisharmonisan.

Radio, televisi, surat kabar, internet, komputer, hand phone dan lain sebagainya menjadi bagian penting yang juga mengisi kehidupan dalam sebuah keluarga. Instrumen-instrumen ini terkadang bisa menjadi malaikat sekaligus iblis pencabut nyawa. Dari situlah, peran orangtua sangat menentukan dalam pemanfaatan dan penggunaan alat peraga pendidikan kecerdasan manusia ini. Banyak kasus kejahatan anak-anak yang sering kita dengar berbuah dari kurangnya pengawasan orangtua atas penggunaan internet dan hand phone.

Rasionalitas dijadikan tolok ukur dalam modernitas yang membebaskan manusia dari sistem tradisi dan otoritas agama yang dogmatis. Namun di sisi lain, melahirkan proses dehumanisasi. Jika anggota keluarga terlepas dari komunitas keluarga (the community of family) dan bisa menjadikan dirinya kehilangan jati diri sebagai manusia.

Apabila salah satu anggota keluarga terlepas dari komunitas, ia akan seperti “anak ayam kehilangan induknya”. Ia akan dihadapkan pada berbagai macam masalah, seperti krisis alienasi, krisis identitas, dan krisis depersonalisasi. Krisis yang dialami secara continue berbagai macam bentuk mampu berdampak bagi keluarga itu sendiri, serta cenderung mengarah pada pola hidup yang konsumeristis, hedonitas, dan dapat mengarah pada tindakan kriminal, serta ‘amoral’ di dalam keluarga.

CINTA KASIH
"Cinta kasih merupakan panggilan yang sangat mendasar bagi setiap manusia dan sudah tertera dalam kodratnya". Maka penekanan di dalam anggota keluarga yang integral ialah cinta kasih. Cinta tidak hanya menjadi kata-kata belaka namun, tercermin dalam segala perbuatan, baik di dalam keluarga maupun di masyarakat. Sebab cerminan ini, telah diwariskan oleh Allah yang penuh Kasih yang menciptakan manusia. Cinta Kasih adalah hukum utama dan terutama dalam sebuah masyaratkat kecil, yang menjadi bagian dari masyaratkat yang luas.

Penanaman cinta kasih di zaman global sekarang ini, bisa menjadi kunci keberhasilan dalam sebuah keluarga. Sebab pemberian cinta yang ditujukkan kepada seorang anak akan berpengaruh pada masa pertumbuhan menju dewasa. Seseorang akan bisa mencintai apabila ia pernah merasakan cinta. Demikian halnya, kasih dapat diberikan seseorang karena ia pernah merasakan dikasihi. Namun, tetap mendapat catatan bahwa pemberian Cinta dan Kasih untuk seorang anak mesti proporsional.

Dengan demikian, kita bisa berangan-angan, apabila setiap keluarga mampu saling memberikan cinta kasih, saling memperhatikan dan saling mengingatkan, kita akan hidup di dalam dunia yang penuh canda, tawa dan nyanyian kegembiraan. Sebab tidak adalagi kejahatan yang mencemaskan.

Keutuhan sebagai keluarga sangat memberikan makna yang tidak terhingga. Dimana anggota keluarga saling berbagi dan saling mengenal dalam banyak hal. Keluarga menjadi wahana untuk penyelesaian segala problem. Menjadi tempat pendidikan iman dan kemanusiaan. Maka, kesatuan dan keutuhan di dalam anggota keluarga sangat di utamakan, terlebih pada masa transisi peradaban globalisasi. - Fr. Aloysius Anong, OFMCap.


0
Baca Selengkapnya >>>

Saturday, November 7, 2015

Fr. Aloysius Anong, OFMCap.

Kata maaf” adalah ungkapan biasa yang sering kita dengar dan ucapkan. Bahkan dalam bahasa asingpun gampang diucapkan “sorry” artinya sama yaitu “maaf”. Selain suku katanya sedikit, kata ini juga gampang dalam pelafalannya. Kata “Maaf” meskipun hanya empat huruf, tetapi menuntut keberanian dari seseorang untuk mengucapkannya. Mengatakan maaf itu mudah. Melaksanakan makna yang terkandung di dalamnya itu yang tidak gampang.

Memaafkan
Memaafkan adalah pekerjaan, aktivitas yang menjadikan seseorang merasa nyaman, memberikan rasa lega dan sakit, yang disebabkan oleh amarah dan dendam. Memaafkan merupakan suatu pengalaman adanya suatu perpindahan dari suatu peristiwa yang tidak mengenakan beralih menjadi peristiwa yang membebaskan.
Memaafkan itu berarti membebaskan. Artinya dengan tindakan itu kita melepaskan seluruh kekecewaan, kegelisahan, benci, marah, sakit hati, dan dendam di dalam diri kita sendiri. Seraya itu pula kita ingin membuka diri untuk membangun pribadi yang dewasa dalam pola pikir, sikap dan tindakan yang positif dalam menata kehidupan. Memaafkan juga menjadi suatu pembelajaran berharga bagi kita. Karena memaafkan menuntut kerendahan hati, dan keterbukaan diri bagi orang lain.

Memaafkan diri
Sebagai makhluk ciptaan kita harus sadar bahwa kita tidak sempurna. Cerminan ini hendaknya menghantar kita untuk bisa memberikan maaf kepada sesama yang telah berlaku tidak adil. Setelah, kita bisa memaafkan orang lain, kita juga harus belajar memaafkan diri sendiri. Tindakan ini, menandakan diri kita adalah bagian dari makhluk ciptaan, yang tidak sempurna. Masa lalu, biarlah berlalu dan tidak perlu diungkit lagi. Kita mesti belajar untuk menerima diri apa adanya. Dengan itu, kita berani untuk membuka lembaran baru dalam hidup.
Tentulah untuk memaafkan diri sendiri, tidak seperti kita memaafkan orang lain. Memaafkan diri memerlukan suatu permenungan dan refleksi yang mendalam. Artinya, kita mau mengenali diri kita secara penuh sebagai manusia yang tidak sempurna. Kita mau membuka diri untuk kelemahan dan kelebihan diri kita. Mampu berdialog dengan batin sendiri “menelanjangi” diri dihadapan diri kita. Maka, tuntutan kepada kita ialah menarik diri dari segala kesibukan hidup harian kita “menyepi”.
Setelah pemeriksaan batin, dan sungguh mau mengakui dan menyadari semua kekurangan dan kelebihan kita, maka kita bisa mengucapkan kata maaf untuk diri sendiri, yang telah membuat orang lain sakit hati. Kita mau dan mulai berdamai dengan diri sendiri. Introfeksi secara mendalam dan total. Tindakan ini adalah hal yang paling “kecil“ tetapi sangat berarti. Karena menuntut suatu kesungguhan-kesadaran yang mendalam.

Memaafkan orang lain
Setelah kita berdamai dengan diri sendiri, maka kita juga harus bisa berdamai dengan orang lain. Bagaimana caranya, ialah dengan memaafkan orang yang telah menyakiti kita. Tentu ini akan menjadi berat jika tidak kita mulai terlebih dahulu dengan diri sendiri. Semuanya akan menjadi mustahil, apabila kita sendiri tidak berani untuk memaafkan diri sendiri. Jadi keduanya harus berjalan beriringan.
Barangkali kita masih ingat akan peristiwa penembakan almarhum Paus Yohanes Paulus II oleh Mehmet Ali Agca. Bagaimana sikap  almarhum Sri Paus Yohanes Paulus II kepada si pelaku? Apakah ia mengutuk sipelaku dan kru-krunya. Tidak! Sebaliknya, beliau membukakan pintu maaf serta berdoa bagi Ali Agca. Bahkan, setelah sembuh dari lukanya Bapa Paus pergi menjenguk Ali, dan berbicara secara kasih persaudaraan.
Tindakan Bapa Suci di atas bukan tidak mungkin kita perbuat dan laksanakan. Bahkan bisa lebih dari itu asalkan kita mau. Yesus sendiri telah mengajarkan kepada kita bagaimana kita harus mengampuni. "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." (Luk23:34). Yesus sanggup memberikan maaf kepada orang-orang yang ikut menyalibkan Dia, termasuk di dalamnya ialah kita. Bahkan, Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Ia memberikan jaminan kepada seorang penyamun untuk hadir bersama dengan dirinya di firdaus, "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus."(Luk 23: 43). Ajaran dan teladan dari kedua tokoh suci di atas bisa kita jadikan sebagai permenungan dalam hidup kita, untuk semakin menghargai sesama.
Dengan memberikan maaf kepada orang lain. Kita bisa memperoleh dua hal yakni membebaskan orang itu dari segala kesalahannya. Kedua, ialah kebebasan diri kita sendiri. Menurut Lewis B. Smedes ada empat keuntungan yang kita peroleh ketika kita memaafkan. diantaranya ialah: pertama,  kita bisa membebaskan diri kita dari perasaan tersiksa, gelisah, dan susah karena benci. Selain itu kita bisa membangun suatu sikap “Positif Thingking” atau berpikir jernih. Kedua, kita tidak menjadi hakim bagi diri sendiri, dan terhindar dari keinginan menyiksa diri dengan narkoba atau minuman keras. Ketiga, kita siap menuju hidup baru, menyongsong hari esok dengan luwes dan lebih cerah. Dan yang keempat, kita menciptakan kedamaian, serta menghargai hidup di tengah manusia lain. Dengan demikian kita semakin menjadi manusia yang utuh dan terintegrasi.


***††††††††††††††***

Memaafkan adalah suatu sikap untuk menuju ke arah “Positif Thingking“ atau berpikir jernih. Dengan berpikir jernih kita bisa dan berani untuk membuka diri secara universal kepada orang lain diluar diri kita. Memaafkan, juga  merupakan suatu pilihan dalam hidup. Dengan “memaafkan“ berarti kita memilih satu pilihan yang selama ini di lupakan dan dijauhi. 
Memberi maaf berarti kita menawarkan suatu kehidupan yang baru. Kita mau hidup bersama dengan kedamaian dan ketenangan. Maka, mari kita untuk berani memaafkan diri sendiri dengan terus menggali nilai-nilai kerohanian kita, dan memaafkan orang ain yang telah menyakiti hati kita secara tulus ikhlas, dan tanpa pamrih. Dengan demikian kita menjadi pelopor yang bebas dan membebaskan, baik di lingkungan sekitar kita maupun di dalam diri kita sendiri. Damaiku Bagimu.


0
Baca Selengkapnya >>>

Friday, May 15, 2015

P. Gabriel Marcel OFMCap.


Siapa idola kita? Mengapa kita perlu “idola” atau tepat orang, figur yang menginspirasikan atau dapat dijadikan panutan bagi kita? Tentu bagi kita YK tak sekedar jadi idola, karena Ia adalah Penyelamat bagi kita.

Kalau idola bagi kita bisa menjadi berbeda. Mengapa jadi bisa lain, karena setiap orang dari kita memiliki pandangan, ide, cita-cita, impian akan orang atau apa yang ingin lakukan. Soal idola taklah salah bila kita berbeda. Lalu mengapa kita mengidolakan seseorang? Bisa jadi karena orang ini atau
itu memenuhi “kerinduan” atau “impian” saya. Dalam diri atau pribadi orang itu terdapat hal-hal yang ingin kita miliki atau figur itu bisa memenuhi “kehausan” hati kita. Lebih jauh, kehadiran sang panutan itu menggerakkan kita untuk lebih kreatif, membuat kita makin bergairah dan bahkan semangat hidup berlipat ganda, bahkan kita jadi rajin dalam menjalani tugas dan tanggungjawab yang dipercayakan kepada kita.

Kalau kita sudah memiliki idola atau panutan yang patut digugu dan ditiru, maka kita sebenarnya sudah mengenal lebih dalam orang yang kita sukai dan layak dijadikan teladan bagi kita. Nah, sejauh mana pengenalan kita akan pribadi unggul yang pantas dicontoh itu menjadi kata kunci bagi kita untuk dapat melangkah lebih jauh bahwa ia bukan sekedar idola namun menjadi penopang perjalanan kehidupan kita, dia jadi andalan hidup kita? Untuk itu perlulah kita mengenalnya lebih dalam. Bila Yesus Kristus idola dan sekaligu Penyelamat kita, maka kita saat ini tak perlu membuang waktu banyak untuk langsung menyimpulkan Dialah idola dan tokoh yang patut dipuji dan jadi andalahku. “Yesus, Engkaulah andalanku” (bdk Doa Kerahiman Ilahi).

Siapakah Yesus? Anda sudah kenal baikkah? Pertanyaan siapakah Yesus bagiku juga merupaka pertanyan Yesus sendiri bagi kita saat ini. Pertanyan yang sama ini pernah Yesus ajukan kepada murid-muridNya (bdk Mat. 13: 15; Mrk 8: 27; Luk 19: 20). Mengapa pertanyaan ini penting diajukan, karena siapa saja yang mau ikuti Dia mesti kenal benar dahulu, sehingga dalam pewartaan akanNya, menjadi tepat. Yesus sering digelari: Anak Allah, Mesias, Anak Manusia. Para murid rupanya lebih mudah mengutip ucapan orang banyak tentang Yesus tentang Yesus itu. Ada yang katakan Dia itu Yohanes Pembaptis, Elia, atau satu diantara para nabi. Lalu siapakah Dia bagiku?

Kita tahu kita suci dan tradisi mengajarkan dan sumber utama untuk mengenal Yesus. Konsili vatikan II dalam konstitusi Dogmatis “Dei Verbum” menyatakan bahwa “Gereja dalam ajarannya, hidup serta ibadatnya melestraikan serta meneruskan kepada semua keturunan, dirinya seluruhnya, imannya seutuhnya” (DV 8). Nah proses komunikasi iman dari satu generasi ke generasi berikutnya dan diantara orang sejaman disebut tradisi. Tradisi ini bermakna penyerahan, penerusan, komunikasi terus-menerus. Tradisi bukan sesuatu yang kolot, atau ketinggalan jaman atau dari “tempoe doeloe”, melaiankan sesuatu yang masih terjadi hingga saat ini juga. Gereja masih terus hidup dan berkembang, itulah tradisi yang senantiasa dinamis. Dalam tradisi itu memang ada waktu tang khusus, yakni jaman Yesus, dan para Rasul. Atau sering kita dengar jaman Gereja Perdana yang jadi dasar dan pokok untuk tradisi berikutnya, “yang dibangun atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjurunya’ (Ef. 2: 20). Nah perumusan iman Gereja Perdana itu yang disebut PB (Perjanjian Baru) karena iman Gereja Perdana yang terungkap di dalamnya.

Kemudian apa yang ditulis dalam Kitab Suci merupakan kisah Yesus seperti yang diwartakan oleh orang beriman, yaitu Yesus yang sudah dialami oleh orang-orang beriman dan kemudian diwartakan oleh mereka. Apa yang di tulis dalam Kitab Suci adalah naskah yang disusun atas pewartaan dasar lisan dan tulisan mengenai Yesus Kristus yang dibuat oleh Gereja Perdana. Nah bila kita mau kenal Dia, maka kita perlu pelajari proses sejarah yang panjang itu, inilah “PR” kita sepanjang hidup.

Kita takkan mungkin mengenal Allah secara tuntas, kalau tidak Dia yang lebih dulu mengenalkan diriNya kepada kita. Allah sendirilah yang mewahyukan diriya kepada kita. Menjadi Orang Kristen berarti menjadi murid-murid YK. Hidup sebagai murid YK, berarti mempunyai komitment untuk mengikuti Dia secara bebas dan setia, dengan kata lain menjadikan Dia sungguh idola dan penyelamat. Kita melaksanakan dan mengembangkan kebebasan dan kesetiaan kita secara kreatif dengan mendengarkan dan menjawab panggilanNya. Selain itu seluruh hidup kita harus merupakan suatu tanggapan terhadap Allah melalui Roh Kudus yang dicurahkan kepada kita oleh Yesus. Pertanggungjawaban tersebut memuat beberapa unsur dari panggilan kita mengikuti Yesus yakni: tanggapan, kebebasan, tuntutan Yesus dan pertobatan.

Jemaat Perdana atau umat Purba mengaku Yesus sebagai “Kristus”, “Putera Allah yang hidup” (Mat 16: 16). Mereka mengikuti Yesus bukan sebagai nabi dan guru namun sebagai Kristus, Putera Allah yang hidup. Yesus adalah pernyataan keselamatan Allah sendiri. Mereka mengimani Yesus sebagai pengantara Allah dan manusia. Yesus adalah penyelamat dunia, karena menyampaikan keselamatan dari Allah kepada dunia. Yesus bukan sekedar pewarta keselamatan namun dalam Dia keselamatan itu dilaksanakan. Manakah tanggapan kita atas panggilanNya dalam YK? Pertama-tama adalah iman. Iman mengajarkan kita bahwa Allah berbicara kepada kita dalam dan melalui peristiwa-peristiwa dan pribadi-pribadi yang mengisi hidup kita. Tanggapan kita haruslah menjadi wujud cinta kasih kepada sesama dan Allah. Tuntutan menjadi muridNya adalah menjadikan seluruh hidup kita sebagai suatu tanggapan terhdapa Allah. Tanggapan itu tampak dalam perbuatan atau pelayanan kita yang menjadi kesaksian nyata. Beberapa tanggapan terhadap panggilan dalam hidup kita itu adalah bagaimana kita menata dan mengembangkan hidup kita manusia baru dalam Kristus: bermartabat luhur, lebih melayani daripada dilayani, dsb.

Kebebasan adalah salah satu karunia yang paling berharga yang diberikan Tuhan kepada manusia. Andaikata Allah tidak memberikan kebebasan kepada manusia maka manusia akan menjadi robot atau seperti binatang yang tidak bisa menentukan tindakkannya. Kerapkali kebebasan itu disalahgunakan oleh manusia, seakan-akan kebebasan itu “ijin” untuk boleh berbuat apa saja. Namun kebebasan itu mestinya bukan “bebas dari” aturan, larangan melainkan “kebebasan untuk” menentukan pilihan. Tentu pilihan yang baik, benar dan menyelamatkan. Kita menerima kebebasan itu dari dan dalam YK, yang menunjukkan jalan kasih yang bebas dan kreatif. Yesus sendiri mengambil bagian dalam kebebasan yang tak terbatas, sebagai Sabda Allah, namun Ia telah menyerahkan kebebasan itu bagi kita dengan membebaskan kita dari segala sesuatu yang dapat memperbudak kita pada dunia. Dengan mengenal cinta Ilahi, kita menemukan kebenaran hidup dan belajar bahwa adalah mungkin mengasihi sesama seperti Dia telah mengasihi kita. Seperti Yesus, para pengikutNya pun menemukan keberanian untuk melawan “kuasa dunia”. Lalu menjadi pengikutnya juga menjadikan kita “co-creator” bersama Allah.

Tentu dalam mengikuti Yesus ada tuntutan yang mesti dipenuhi. Yesus sendiri berkata kepada murid-muridNya: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salib dan mengikuti Aku”, (Mat 19: 24; Mrk 8: 34; Luk 9:23). Taklah mudah mengikutinya, maka kita terus memperbaharui diri dalam segala dimensi hidup kita. Pembaharuan diri itulah yang kita kenal dengan pertobatan. Pertobatan itulah juga tema utama pewartaan Yesus: “...Kerajaan Allah sudah dekat bertobatlah....(Mrk 1:15). Seruan pertobatan ini sudah sejak jaman para nabi dalam Perjanjian Lama berkitan perlunya “perubahan hati yang menyeluruh”, berbalik dari dosa, lalu kembali kepadaNya. Bahkan kita lihat Yohanes Pembaptis serukan hal yang sama (Mat 3:10). Lalu pertobatan itu sejatinya adalah sebuah sikap dan perilaku yang melibatkan seluruh diri untuk sepenuhnya bertindak sesuai kehendakNya.


Lalu apa yang bisa kita pelajari dari “idola” kita, YK?

Tanpa bermaksud mengurangi dan membatasi “keunggulan” yang ada pada YK, saya hanya menyodorkan beberapa aspek pribadi yang dimilikiNya, yang kiranya dapat dijadikan contoh bagi kita. Pertama, Yesus sebagai pemimpin, pemimpin dengan motivasi yang jelas, yaitu memuliakan Bapa di surga (Luk 2: 49). Sebagai pemimpin Ia memiliki karakter yang konsisten dengan apa yang diajarkan dan dibuatNya. Kita mau mencotoh karakternya yang mau kerja keras, jujur, peka dan perbuatan kasihNya. Kedua, Yesus berani, yaitu keberanian berbuat baik, walau harus menanggung resiko pengurbanan diri, berhadapan dengan konflik pada zamannya begitupun kita. Ketiga, Yesus bebas, Yesus menjalankan tugasNya dengan bebas tanpa terikat dan kaku pada aturan dan hukum serta tradisi pada zamanNya. Apa yang dibuatNya demi keselamatan umat Manusia. Empat, Yesus rendah hati, Ia mau melayani dan menaruh “pelayanan” sebagai syarat mutlak menjadi muridNya (mat 22: 34-40; Yoh 13: 1-11; Mrk 10: 35).

Kelima, Yesus peka dan tanggap, Yesus berasal dari keluarga sederhana di Nazaret, namun ketika Ia menjadi terkenal Ia tak lupa asal-Nya. Ia senantiasa berasda di tengah suka-duka hidup manusia dan berbuat sesuatu demi membantu dan mengatasi segala kesulitan hidup (perkawinan di Kana, Yoh 2: 2; menyembuhkan yang sakit, Mat 8: 14-17, memberi makan, Mrk 6: 30-44). Keenam, Yesus setia pada tugasNya, kesetiaanNya pada tugas yang Bapa berikan kepadaNya. KetekunanNya untuk menemukan dan menjalankan kehendak BapaNya. Inilah rahasia kesuksesanNya, kesetian menjalani tugas yang dipercayakan oleh BapaNya. Ketujuh, Yesus kreatif, Yesus menggunakan segenap kemampuannya untuk mewujudkan KA, bahkan dengan sadar dan mampu menempatkan diri dalam situasi zamanNya serta memilih berpihak pada yang kecil. Demikianlah dari sekian banyak kualitas pribadi Yesus yang dapat kita jadikan juga bagian dari kita yang mau melayani dan menjadi pengikutNya.


0
Baca Selengkapnya >>>

Wednesday, January 1, 2014

P. Gabriel Marcel, OFMCap.


Krisis ekonomi yang sedang melanda Eropa pada umumnya dan khususnya di Italia sangat terasa dan mempengaruhi seluruh bidang kehidupan. Hari-hari sebelum perayaan natal di Roma khususnya di warnai dengan banyaknya aksi demo atau pemogokkan kerja (sciopero) yang dilakukan oleh para buruh atau pun kalangan pekerja bahkan sesekali para pelajar juga tak ketinggalan sekadar unjuk perasaan, solider, atas situasi krisis. Umumnya di Roma aksi demo cukup teroganisir, biasanya dilakukan pada hari Jumat, hampir pasti dilakukan, namun karena krisis ekonomi “kebiasaan berdemo” itu dilakukan juga di hari lainnya. Bahkan tak jarang sekolah dan universitas memilih meliburkan pelajar dan mahasiswanya untuk mencegah atau sebagai langkah antisipasi akan dampak buruknya karena ada demo besar-besaran.

Penulis sendiri tak jarang harus berjalan kaki beberapa kilometer untuk dapat menemukan tempat bus parkir agar bisa kembali dari kampus. Tak heran, banyak pembangunan yang ditunda dan terpaksa tidak bisa dilanjutkan karena kondisi keuangan yang tidak memadai. Harga barang melonjak sangat terasa, dan lapangan pekerjaan sangat langka dan arus imigrasi yang tak tertahankan berdatangan ke Eropa, khususnya Italia yang disangka banyak lapangan kerja, namun mereka menemukan bahwa tak ada lowongan atau lapangan kerja bagi mereka, maka para pengemis makin banyak saja menghiasi kota Roma.

Situasi demikian itu selalu disuarakan dalam audiensi dan pertemuan umat dan para generasi muda Italia kepada Paus. Boleh jadi karena itu, bentuk nyata wujud keprihatinan Paus khususnya menyikapi dan menjawab kondisi krisis tampak dalam renungan, homili yang membahas isu-isu hidup sederhana, solider dengan yang miskin, menderita dan terpinggirkan, lalu dalam merayakan natal tahun ini (2013) jauh dari suasana “glamour” atau kemeriahan seperti tahun-tahun sebelumnya. Hiasan di sekitar dan dalam Basilika St. Petrus pun sangat sederhana. Contohnya di tengah Piazza St. Petrus didirikan pohon natal yang sangat sederhana, minus hiasan, lalu di sampingnya terdapat kandang natal (presepio) yang sangat sederhana.

Sejak terpilihnya Paus Francesco, “warna kesederhanaan” sangat “kentara” menghiasi Vatikan, Tahta St. Petrus. Kemungkinan ini juga sebagai wujud nyata penghayatan pemilihan nama Franceso, yang diinspirasikan oleh Fransiskus dari Asisi pencinta kemiskinan suci dan persaudaraan dengan semua, serta yang kecil, terpinggirkan. Hampir sejauh ini, selama kurang dari setahun Tahta St. Petrus di bawah penggembalannya wajah gereja Katolik Roma tampak lain, berubah “ronanya”, semakin dekat dengan segala kalangan, jauh dari kesan “kebesaran” yang membuat segan dan kesan “arogan”.

Peristiwa Natal; Emmanuel, Allah beserta kita, Ia masuk dalam kehidupan manusia, menjadi sama dengan manusia. Ia mengenakan kemanusiaan yang rapuh, hidup, berkerja, dan bergaul dengan siapa saja, melakukan apa saja seperti manusia. Semua ini dilakukan seorang bernama Yesus dari Nazaret, anak Yusuf si tukang kayu dan Maria, gadis bersahaja. Dari keluarga sederhana itulah terpancar sinar keselamatan bagi manusia dan dunia.

Bagi kita, tema natal Tahun ini mengumandangkan damai, kedamaian adalah syarat mutlak untuk kebahagian. Bagaimana bisa bahagia bila tiada kedamaian; di hati dan pikiran (diri), di dalam keluarga, di lingkungan, di kampung, di kota dan di negara. Ketika kita rayakan natal dengan semangat kesederhanaan kita akan tak segan berbagi, membantu, tidak berpoya, hadir dalam situasi yang perlu bagi sahabat, tetangga, keluarga. Kita tak pusing dengan kekurangan yang ada namun berusaha berbuat apa yang bisa bagi kebutuhan yang semestinya dan bukan selebihnya yang merugikan. “Sang Sabda telah menjadi manusia dan Tinggal diantara kita. Kita telah melihat “bintang-Nya”, indah dikejauhan, menuntun, menunjuk arah, menerangi langkah yang membawa berkah, ganjaran keselamatan semua bagi semua. Selamat merayakan Natal bagi kita semua, Emmanuel. Selamat Tahun Baru 2014, Sang Bintang Kejora menuntun kita semua. Amin.


0
Baca Selengkapnya >>>

Tuesday, July 16, 2013

P. F. Cahyo Widiyanto, OFMCap.



Dalam buku Fioretti, ada sebuah kisah tentang St. Fransiskus yang memperdamaikan penduduk kota Gubbio dengan seekor serigala yang ganas.

Pada waktu itu, di kota Gubbio hiduplah seekor serigala yang amat besar, lagi mengerikan dan ganas. Ia bukan saja memakan binatang-binatang, tetapi juga manusia. Semua penduduk kota itu hidup dalam ketakutan dan tidak berani pergi sendirian. Melihat situasi yang demikian St. Fransiskus merasa kasihan, sehingga ia ingin mendamaikan serigala itu dengan penduduk kota Gubbio, sekalipun mereka melarangnya pergi.

Ketika Fransiskus memasuki daerah serigala itu bersama-sama sahabatnya, ia membuat tanda salib dan menaruh kepercayaan sepenuh-penuhnya pada Allah. Ketika saudara-saudara lain tidak mau pergi lebih jauh lagi, St. Fransiskus berjalan terus menuju tempat serigala itu bersarang. Ketika serigala itu melihat Fransiskus, maka ia pun menyerbu ke arahnya dengan cakar-cakar yang terbuka. Ketika ia mendekat, St. Fransiskus membuat tanda salib di atasnya dan menyapanya, “Kemarilah saudara Serigala. Demi nama Kristus aku memerintahkan kepadamu jangan menyerang aku”. Dan aneh bin ajaib, begitu St. Fransiskus membuat tanda salib, serigala yang ganas itu pun memasukkan cakar-cakarnya kembali. Ia menaati perintah St. Fransiskus dan datang membaringkan diri di kaki St. Fransiskus dengan lembut seperti seekor anak domba.

Kemudian St. Fransiskus mengajak Serigala itu membuat suatu perjanjian dengan penduduk kota Gubbio. Dari pihak Serigala, ia harus berjanji bahwa ia takkan mengganggu dan melakukan kejahatan dengan penduduk kota Gubbio lagi. Dari pihak penduduk kota Gubbio, mereka berjanji, akan menyediakan makanan yang dibutuhkan serigala itu setiap hari. Dan sebagai jaminan bahwa perjanjian itu akan dilaksanakan dan ditepati, maka St. Fransiskus mengulurkan tangannya, dan serigala itu mengangkat kaki depannya dan menempatkannya dengan lembut dalam tangan St. Fransiskus, sebagai bukti kesetiaannya.


Fransiskus Pencinta Damai dan Pelindung Kelestarian Alam

Dari kisah di atas dapat diketahui, bahwa St. Fransiskus memang sungguh-sungguh seorang yang mencintai kehidupan damai dan hidup bersaudara dengan semua makhluk ciptaan.

Bahwa St. Fransiskus dikenal luas sebagai pencinta damai dapat dibuktikan dalam pertemuan para pemimpin agama sedunia yang diadakan oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 27 Oktober 1986. Pada waktu itu pertemuan tidak diadakan di kota Roma ataupun kota besar yang lain, melainkan di kota Assisi. Di sana pertama kalinya semua pemimpin agama sedunia bersatu dalam doa untuk perdamaian dunia. Mengapa kota Assisi yang dipilih? Karena mereka tahu bahwa St. Fransiskus Assisi adalah pelopor perdamaian bagi semua agama. St. Fransiskus Assisi juga dikenal sebagai pelindung kelestarian alam, terbukti dengan dikukuhkannya beliau oleh Paus Yohanes Paulus II, sebagai “Pelindung Pemeliharaan Kelestarian Lingkungan Hidup”, pada tanggal 29 November 1979.

Melihat kehidupan St. Fransiskus yang dipenuhi dengan damai dan cinta akan lingkungan hidup, mungkin timbul pertanyaan di hati kita. Bagaimana St. Fransiskus sungguh dapat hidup damai dengan semua orang dan semua makhluk? Sumber-sumber inspirasi manakah yang ia gali sehingga ia dapat hidup harmonis dengan seluruh ciptaan?

Semua pertanyaan ini sumbernya hanya pada satu pribadi yang agung dan karismatis, yakni Yesus Kristus, Tuhan kita yang kisah hidup dan pandangan-pandangan-Nya dapat kita kenal melalui Kitab Suci. Kalau St. Fransiskus dikenal sebagai pencinta damai, maka ia belajar hidup dalam damai itu dari Yesus.

Pertama, Fransiskus tentu belajar dari ucapan yang penting dan fundamental dari Yesus yang bangkit – seperti kita dengarkan dalam Injil Yohanes – “Damai sejahtera bagi kamu!” (Yoh 20:19; 21). Jadi dari teks ini Fransiskus tentu menyadari bahwa sumber kedamaian sejati itu datangnya dari Tuhan.

Kedua, Fransiskus tentu memahami juga, bahwa di dalam Yesus lah surga dan bumi diperdamaikan dan dipersatukan kembali dengan Allah yang mahakuasa (SurOr 13; bdk. Kol 1:20).

Ketiga, Fransiskus tentunya dipengaruhi oleh Sabda Bahagia yang berkata, “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.” (Mat 5:9). Orang yang membawa damai ini oleh Fransiskus ditafsirkan sebagai “orang yang dalam segala penderitaannya di dunia ini tetap memelihara kedamaian dalam jiwa dan raganya demi cinta kasih kepada Tuhan kita Yesus Kristus” (Pth XV).

Kalau St. Fransiskus dikenal sebagai pelindung kelestarian lingkungan hidup, maka gelar ini dikenakan kepadanya karena selama hidupnya ia sungguh-sungguh bersikap sebagai Saudara terhadap seluruh alam ciptaan. Dan puncak dari doa dan semua tulisan St. Fransiskus, nampak dalam “Kidung Saudara Matahari”, di mana semua makhluk ciptaan, ia undang untuk bersyukur dan memuji Allah. Bahwa Fransiskus dapat hidup bersaudara dengan seluruh alam ciptaan ini: matahari, bulan. Bintang, angin, air, api dan ibu pertiwi (tanah), semua itu karena Fransiskus dapat melihat kehadiran Kristus dalam seluruh ciptaan. Kehadiran Kristus dalam ciptaan ini sudah ditegaskan oleh Paulus, “Sebab dalam Kristus telah diciptakan segala sesuatu, baik di angkasa maupun di bumi: baik yang kelihatan maupun yang tak kelihatan, singgasana, kerajaan, pemerintah dan penguasa. Segala sesuatu diciptakan dengan perantaraan-Nya dan untuk Dia” (Kol 1:16).

Jika seluruh ciptaan bersaudara, maka itulah hasil karya penyelamat yang memperdamaikan segala-galanya dalam diri-Nya. Kalau makhluk-makhluk dilihat sebagai saudara-saudari yang disatukan secara akrab, hal itu terjadi, karena Kristus menerima semua makhluk ke dalam cinta-Nya yang tak kenal batas. Walaupun ciptaan amat besar dan luas, namun dalam pandangan Fransiskus semua disatukan dalam cinta yang sama, “karena kasih karunia Allah yang menyelamatkan semua manusia telah nyata.” (Tit 2:11).


Menuju Hidup dalam Damai dan Cinta akan Alam

Menjadi seorang pembawa damai dan seorang yang memperjuangkan kelestarian alam seperti St. Fransiskus pada dunia dewasa ini masih sangat relevan.

Coba saja faktanya kita lihat. Pilkada di beberapa daerah di Indonesia menuai konflik: bentrokan antar pendukung dan perusakan fasilitas-fasilitas umum. Di tingkat internasional konflik Israel dan Palestina yang telah berlangsung bertahun-tahun sampai sekarang juga belum menemukan solusinya.

Di bidang lingkungan hidup, kita juga tahu, bahwa Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan. [Badan Planologi Dephut, 2003].”

Di tengah situasi yang mengancam perdamaian dan kelestarian lingkungan ini, baik dalam skala kecil dalam rumah tangga kita masing-masing, di komunitas kita, maupun dalam lingkungan masyarakat kita, kita sebagai orang beriman diundang menjadi pembawa damai dan pencipta kelestarian lingkungan. Bagaimana tugas perutusan ini dapat kita wujudkan?

Pertama, kita sendiri harus mengalami diri kita didamaikan dengan Tuhan. Artinya dalam kehidupan kerohanian kita, kita sendiri harus mengalami bahwa aku dikasihi Tuhan; bahwa dosa-dosaku telah ditebus oleh-Nya di kayu salib; bahwa Dia selalu menyertai aku dalam seluruh hidupku. Sehingga dalam hidupku aku merasa aman dalam tangan Tuhan. Dan untuk dapat mencapai pengalaman iman yang menyembuhkan, mengutuhkan dan mendamaikan ini, kita harus sungguh berserah diri kepada Tuhan.

Kedua, kita harus mendengarkan apa yang dikatakan St. Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma, “Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang.” (Rm 12:18). Apa artinya kata-kata Paulus ? Artinya Paulus menyadari, bahwa hidup dalam perdamaian bersama orang lain itu tidaklah mudah. Kita memang ingin hidup dalam damai, tetapi selalu ada saja hal yang membuat kita kemudian menjadi jengkel, marah, dan kemudian mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan hati, dan kemudian kita menjadi menyesal lagi. Namun di tengah kesulitan untuk menciptakan perdamaian ini kita tidak boleh menyerah. Dalam situasi apapun sedapat-dapatnya kita diminta berjuang untuk hidup berdamai dengan orang lain. Prinsip di sini yang dapat kita pegang – menurut Paulus adalah – “Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!” (Rm 12:21)

Ketiga, untuk bisa hidup menghargai sesama ciptaan, baik binatang maupun tumbuhan, kita harus mampu seperti St. Fransiskus melihat makhluk ciptaan dari sudut pandang Allah sendiri. Chesterton ketika mengomentari “Kidung Saudara Matahari“ karya St. Fransiskus mengatakan kepada kita, “Fransiskus dalam pengalaman mistik telah membuat “salto” dengan memandang semua ciptaan dari pihak Allah, dan sesudahnya, ia kembali ke dunia ini dan sejak saat itu, ia melihat dan mengalami semua makhluk dalam bentuk abadi dan sempurna.”

Marilah bersama St. Fransiskus, kita ciptaan perdamaian di rumah kita, tempat kita bekerja, dan di manapun kita berada; marilah kita hormati juga segala makhluk ciptaan lain, kita pelihara lingkungan hidup kita, sehingga dunia kita semakin menjadi harmonis dan indah, karena kita semua memantulkan keindahan pencipta kita, yakni Yesus Kristus Tuhan kita. Semoga. 


0
Baca Selengkapnya >>>