Slider Background

Your Blog Welcome Text

Blog Persaudaraan
Tempat Berbagi: Dari Kita - Oleh Kita - Untuk Dunia
Showing posts with label Hidup Pendidikan. Show all posts
Showing posts with label Hidup Pendidikan. Show all posts

Wednesday, March 16, 2016

Bagian fundamen dari terbentuknya masyarakat sekarang ini adalah kehadiran dari keluarga-keluarga kecil. Keluarga adalah mikrokosmos dari dunia makrokosmos. Kehidupan kecil di tengah kehidupan yang maha besar. Karena iu sebuah keluarga bisa kita katakan sebagai miniatur dari masyarakat yang luas.

KELUARGA
Keluarga adalah tempat persatuan/komunitas yang genuine, asli. Sebagai komunitas yang asli, keluarga berperanan penting untuk menata kehidupan baru. Keluarga menjadi pusat perkembangan person secara jasmani maupun rohani. Locus of attitude pertama dan menentukan. Disinilah wadah pemenuhan kehidupan moral dan keagamaan secara personal.

The family is the basic cell of society and for that reason the primery locus of humanization”. Keluarga menjadi sel/inti utama dari masyarakat. Dari padanya insan manusia baru di bentuk dan di beri pelajaran akan cinta kasih. Keluarga sebagai tempat yang sangat potensial dalam menanamkan nilai-nilai kemanusiaan. Keluarga menjadi instrumen yang paling mendasar serta memiliki power, untuk kebaikan anak di masa mendatang.

Peranan keluarga secara aktif sangat diperlukan, agar keutuhan keluarga yang bermartabat tetap utuh dan terjaga. Keluarga menjadi titik tolak untuk menentukan dan mengatakan tentang diri seseorang. “pantaslah dia begitu karena orangtuanya aja seperti itu”, “bagaimana mungkin dia bisa mengurus orang banyak, keluarganya saja tidak beres”, “kalau mau mencari jodoh lihatlah bibit bebet dan bobotnya”. Keutuhan, integritas dalam sebuah keluarga sangat berarti untuk membentuk suatu pola pikir yang baik dan berkualitas.

ANAK
Secara kodrati penyatuan antara pria dan wanita yang diikat dengan sebuah perkawinan adalah ingin menghadirkan kembali manusia baru di muka bumi ini. Menjadikan suatu masyarakat besar yang tidak terputus. Menjadi perpanjangan Allah dalam karya penciptaan dan pemenuhan kebaikan di muka bumi.

Allah memberikan tanda cinta yang paling nyata dalam sebuah keluarga ialah anak. Meskipun ada yang beranggapan kehadiran seorang anak di dalam keluarganya menjadi trouble maker. Maka ada yang mencoba mengadopsi hewan piaraan (Kucing, Anjing, kelinci) sebagai pengganti anak. Mereka tidak mau direpotkan dengan kehadiran seorang anak. Manusia yang adalah Citra dari Allah (Kej. 1:26) dianggap sebagai pembuat masalah. Tentulah paham ini, tidak akan mampu memberikan kontribusi yang berarti dalam tatanan hidup bermasyarakat. Hampir dapat dipastikan kehadiran mereka hanya sebagai penikmat bukan pemberi nikmat.

Dalam hal ini kita bisa bertanya, Apakah seorang anak yang lahir itu menjadi trouble maker? atau pasutri itu yang tidak lagi bisa membedakan manusia dan hewan dalam hidupnya? Anak adalah harta yang tidak ternilai dan tak tergantikan oleh apapun. Karena bagaimanapun juga, anak adalah generasi, pewaris kehidupan yang akan memberikan kehidupan kepada makhluk hidup yang lain.

TANTANGAN
Keluarga yang merupakan bagian kecil dari kehidupan di dunia ini, memiliki suatu tanggung jawab yang tidak kecil. Gaya hidup yang terus berkembang, memberikan pesonanya tersendiri. Ditambah lagi dengan banyaknya permasalahan yang cenderung berakibat pada kedisharmonisan.

Radio, televisi, surat kabar, internet, komputer, hand phone dan lain sebagainya menjadi bagian penting yang juga mengisi kehidupan dalam sebuah keluarga. Instrumen-instrumen ini terkadang bisa menjadi malaikat sekaligus iblis pencabut nyawa. Dari situlah, peran orangtua sangat menentukan dalam pemanfaatan dan penggunaan alat peraga pendidikan kecerdasan manusia ini. Banyak kasus kejahatan anak-anak yang sering kita dengar berbuah dari kurangnya pengawasan orangtua atas penggunaan internet dan hand phone.

Rasionalitas dijadikan tolok ukur dalam modernitas yang membebaskan manusia dari sistem tradisi dan otoritas agama yang dogmatis. Namun di sisi lain, melahirkan proses dehumanisasi. Jika anggota keluarga terlepas dari komunitas keluarga (the community of family) dan bisa menjadikan dirinya kehilangan jati diri sebagai manusia.

Apabila salah satu anggota keluarga terlepas dari komunitas, ia akan seperti “anak ayam kehilangan induknya”. Ia akan dihadapkan pada berbagai macam masalah, seperti krisis alienasi, krisis identitas, dan krisis depersonalisasi. Krisis yang dialami secara continue berbagai macam bentuk mampu berdampak bagi keluarga itu sendiri, serta cenderung mengarah pada pola hidup yang konsumeristis, hedonitas, dan dapat mengarah pada tindakan kriminal, serta ‘amoral’ di dalam keluarga.

CINTA KASIH
"Cinta kasih merupakan panggilan yang sangat mendasar bagi setiap manusia dan sudah tertera dalam kodratnya". Maka penekanan di dalam anggota keluarga yang integral ialah cinta kasih. Cinta tidak hanya menjadi kata-kata belaka namun, tercermin dalam segala perbuatan, baik di dalam keluarga maupun di masyarakat. Sebab cerminan ini, telah diwariskan oleh Allah yang penuh Kasih yang menciptakan manusia. Cinta Kasih adalah hukum utama dan terutama dalam sebuah masyaratkat kecil, yang menjadi bagian dari masyaratkat yang luas.

Penanaman cinta kasih di zaman global sekarang ini, bisa menjadi kunci keberhasilan dalam sebuah keluarga. Sebab pemberian cinta yang ditujukkan kepada seorang anak akan berpengaruh pada masa pertumbuhan menju dewasa. Seseorang akan bisa mencintai apabila ia pernah merasakan cinta. Demikian halnya, kasih dapat diberikan seseorang karena ia pernah merasakan dikasihi. Namun, tetap mendapat catatan bahwa pemberian Cinta dan Kasih untuk seorang anak mesti proporsional.

Dengan demikian, kita bisa berangan-angan, apabila setiap keluarga mampu saling memberikan cinta kasih, saling memperhatikan dan saling mengingatkan, kita akan hidup di dalam dunia yang penuh canda, tawa dan nyanyian kegembiraan. Sebab tidak adalagi kejahatan yang mencemaskan.

Keutuhan sebagai keluarga sangat memberikan makna yang tidak terhingga. Dimana anggota keluarga saling berbagi dan saling mengenal dalam banyak hal. Keluarga menjadi wahana untuk penyelesaian segala problem. Menjadi tempat pendidikan iman dan kemanusiaan. Maka, kesatuan dan keutuhan di dalam anggota keluarga sangat di utamakan, terlebih pada masa transisi peradaban globalisasi. - Fr. Aloysius Anong, OFMCap.


0
Baca Selengkapnya >>>

Saturday, November 7, 2015

Fr. Aloysius Anong, OFMCap.

Kata maaf” adalah ungkapan biasa yang sering kita dengar dan ucapkan. Bahkan dalam bahasa asingpun gampang diucapkan “sorry” artinya sama yaitu “maaf”. Selain suku katanya sedikit, kata ini juga gampang dalam pelafalannya. Kata “Maaf” meskipun hanya empat huruf, tetapi menuntut keberanian dari seseorang untuk mengucapkannya. Mengatakan maaf itu mudah. Melaksanakan makna yang terkandung di dalamnya itu yang tidak gampang.

Memaafkan
Memaafkan adalah pekerjaan, aktivitas yang menjadikan seseorang merasa nyaman, memberikan rasa lega dan sakit, yang disebabkan oleh amarah dan dendam. Memaafkan merupakan suatu pengalaman adanya suatu perpindahan dari suatu peristiwa yang tidak mengenakan beralih menjadi peristiwa yang membebaskan.
Memaafkan itu berarti membebaskan. Artinya dengan tindakan itu kita melepaskan seluruh kekecewaan, kegelisahan, benci, marah, sakit hati, dan dendam di dalam diri kita sendiri. Seraya itu pula kita ingin membuka diri untuk membangun pribadi yang dewasa dalam pola pikir, sikap dan tindakan yang positif dalam menata kehidupan. Memaafkan juga menjadi suatu pembelajaran berharga bagi kita. Karena memaafkan menuntut kerendahan hati, dan keterbukaan diri bagi orang lain.

Memaafkan diri
Sebagai makhluk ciptaan kita harus sadar bahwa kita tidak sempurna. Cerminan ini hendaknya menghantar kita untuk bisa memberikan maaf kepada sesama yang telah berlaku tidak adil. Setelah, kita bisa memaafkan orang lain, kita juga harus belajar memaafkan diri sendiri. Tindakan ini, menandakan diri kita adalah bagian dari makhluk ciptaan, yang tidak sempurna. Masa lalu, biarlah berlalu dan tidak perlu diungkit lagi. Kita mesti belajar untuk menerima diri apa adanya. Dengan itu, kita berani untuk membuka lembaran baru dalam hidup.
Tentulah untuk memaafkan diri sendiri, tidak seperti kita memaafkan orang lain. Memaafkan diri memerlukan suatu permenungan dan refleksi yang mendalam. Artinya, kita mau mengenali diri kita secara penuh sebagai manusia yang tidak sempurna. Kita mau membuka diri untuk kelemahan dan kelebihan diri kita. Mampu berdialog dengan batin sendiri “menelanjangi” diri dihadapan diri kita. Maka, tuntutan kepada kita ialah menarik diri dari segala kesibukan hidup harian kita “menyepi”.
Setelah pemeriksaan batin, dan sungguh mau mengakui dan menyadari semua kekurangan dan kelebihan kita, maka kita bisa mengucapkan kata maaf untuk diri sendiri, yang telah membuat orang lain sakit hati. Kita mau dan mulai berdamai dengan diri sendiri. Introfeksi secara mendalam dan total. Tindakan ini adalah hal yang paling “kecil“ tetapi sangat berarti. Karena menuntut suatu kesungguhan-kesadaran yang mendalam.

Memaafkan orang lain
Setelah kita berdamai dengan diri sendiri, maka kita juga harus bisa berdamai dengan orang lain. Bagaimana caranya, ialah dengan memaafkan orang yang telah menyakiti kita. Tentu ini akan menjadi berat jika tidak kita mulai terlebih dahulu dengan diri sendiri. Semuanya akan menjadi mustahil, apabila kita sendiri tidak berani untuk memaafkan diri sendiri. Jadi keduanya harus berjalan beriringan.
Barangkali kita masih ingat akan peristiwa penembakan almarhum Paus Yohanes Paulus II oleh Mehmet Ali Agca. Bagaimana sikap  almarhum Sri Paus Yohanes Paulus II kepada si pelaku? Apakah ia mengutuk sipelaku dan kru-krunya. Tidak! Sebaliknya, beliau membukakan pintu maaf serta berdoa bagi Ali Agca. Bahkan, setelah sembuh dari lukanya Bapa Paus pergi menjenguk Ali, dan berbicara secara kasih persaudaraan.
Tindakan Bapa Suci di atas bukan tidak mungkin kita perbuat dan laksanakan. Bahkan bisa lebih dari itu asalkan kita mau. Yesus sendiri telah mengajarkan kepada kita bagaimana kita harus mengampuni. "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." (Luk23:34). Yesus sanggup memberikan maaf kepada orang-orang yang ikut menyalibkan Dia, termasuk di dalamnya ialah kita. Bahkan, Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Ia memberikan jaminan kepada seorang penyamun untuk hadir bersama dengan dirinya di firdaus, "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus."(Luk 23: 43). Ajaran dan teladan dari kedua tokoh suci di atas bisa kita jadikan sebagai permenungan dalam hidup kita, untuk semakin menghargai sesama.
Dengan memberikan maaf kepada orang lain. Kita bisa memperoleh dua hal yakni membebaskan orang itu dari segala kesalahannya. Kedua, ialah kebebasan diri kita sendiri. Menurut Lewis B. Smedes ada empat keuntungan yang kita peroleh ketika kita memaafkan. diantaranya ialah: pertama,  kita bisa membebaskan diri kita dari perasaan tersiksa, gelisah, dan susah karena benci. Selain itu kita bisa membangun suatu sikap “Positif Thingking” atau berpikir jernih. Kedua, kita tidak menjadi hakim bagi diri sendiri, dan terhindar dari keinginan menyiksa diri dengan narkoba atau minuman keras. Ketiga, kita siap menuju hidup baru, menyongsong hari esok dengan luwes dan lebih cerah. Dan yang keempat, kita menciptakan kedamaian, serta menghargai hidup di tengah manusia lain. Dengan demikian kita semakin menjadi manusia yang utuh dan terintegrasi.


***††††††††††††††***

Memaafkan adalah suatu sikap untuk menuju ke arah “Positif Thingking“ atau berpikir jernih. Dengan berpikir jernih kita bisa dan berani untuk membuka diri secara universal kepada orang lain diluar diri kita. Memaafkan, juga  merupakan suatu pilihan dalam hidup. Dengan “memaafkan“ berarti kita memilih satu pilihan yang selama ini di lupakan dan dijauhi. 
Memberi maaf berarti kita menawarkan suatu kehidupan yang baru. Kita mau hidup bersama dengan kedamaian dan ketenangan. Maka, mari kita untuk berani memaafkan diri sendiri dengan terus menggali nilai-nilai kerohanian kita, dan memaafkan orang ain yang telah menyakiti hati kita secara tulus ikhlas, dan tanpa pamrih. Dengan demikian kita menjadi pelopor yang bebas dan membebaskan, baik di lingkungan sekitar kita maupun di dalam diri kita sendiri. Damaiku Bagimu.


0
Baca Selengkapnya >>>

Wednesday, October 28, 2015


SANGGAU KAPUAS - Pada tanggal 14 Oktober 2015 yang lalu di Postulat Kapusin Santo Leopold Mandic, Bunut-Sanggau, diadakan perayaan syukur 25 tahun Postulat. Perayaan dilangsungkan pada sore hari, diawali dengan perarakan yang diikuti oleh sejumlah besar para Saudara Kapusin Pontianak serta umat yang hadir. Jumlahnya sekitar 300-an orang. Perarakan tersebut dimulai dari gedung Postulat menuju ke patung Santo Leopold Mandic sebagai santo pelindung dari Postulat Kapusin Bunut-Sanggau. Letaknya di Persimpangan jalan postulat. Patung yang baru dibuat oleh Bapak Bujang Kirei itu adalah bantuan Rumah Retret Laverna untuk Postulat. Patung tersebut diberkati oleh Mgr. Julius Mencucini,CP, Uskup Keuskupan Sanggau.

Setelah pemberkatan patung Santo Leopold Mandic, perarakan dilanjutkan menuju Aula Santa Maria, Rumah Retret Laverna untuk merayakan Misa Syukur 25 tahun Postulat. Perayaan misa dipimpin oleh Mgr. Julius Mencucini, CP, dan didampingi oleh dua konselebran, yakni Minister Provinsial Kapusin Pontianak, P. Amandus Ambot OFMCap dan Magister Postulat Santo Leopold Mandic, P. Egidius OFMCap. Dalam Khotbahnya Mgr. Julius menekankan tentang Kerajaan Allah yang diumpamakan seperti benih yang tumbuh. Beliau mengatakan: setiap umat yang beriman harus terlebih dahulu mencari Kerajaan Allah dan hal-hal lain akan ditambahkan oleh Allah sendiri sesuai dengan Kehendak-Nya.

Setelah Perayaan Misa syukur ada beberapa kata sambutan yang disampaikan oleh Minister Provinsial Pontianak dan Magister Postulat Santo Leopold Mandic. Dalam sambutannya P. Egidius OFMCap mengucapkan banyak terima kasih kepada para Saudara Kapusin yang hadir dalam perayaan ini dan kepada seluruh umat yang yang hadir dan mendukung acara ini. Kemudian, P. Amandus Ambot OFMCap, sebagai Minister Propinsial Kapusin, menekankan bahwa para Saudara Kapusin harus dapat memberikan kesaksian hidup yang baik dan benar tentang karisma dan spiritualitas hidup Santo Fransiskus Assisi, supaya panggilan untuk menjadi seorang religius kapusin semakin berkembang.

Selanjutnya, setelah Perayaan Misa Syukur berakhir, acara dilanjutkan dengan ramah tamah dan santap malam bersama di ruang makan Laverna. Perayaan syukur pesta perak Postulat santo Leopold Mandic ini, berjalan dengan lancar hingga perayaan berakhir.

Diharapkan dengan Perayaan pesta perak ini, Postulat Kapusin Santo Leopold Mandic, Sanggau ini dapat menjadi tempat persemaian benih-benih panggilan bagi para calon kapusin sehingga kelak mereka dapat menjadi kapusin yang unggul dalam kesaksian hidup dan karya pada masa yang akan datang.

Saat ini ada sembilan calon kapusin muda yang sedang menempuh pendidikan di Postulat Santo Leopold Mandic, Bunut-Sanggau Kapuas. Mereka berasal dari berbagai daerah di Kalimantan Barat dan di Luar Kalimantan Barat. Masa pendidikan di sini berlangsung selama satu tahun. Setelah itu mereka melanjutkan di Novisiat Kapusin Padre Pio, Gunung Poteng. (Sdr Meldi Irwandi)


(Penulis adalah Postulan Kapusin Pontianak - tahun 2015)


0
Baca Selengkapnya >>>

Monday, June 29, 2015

P. Egidius Egiono OFMCap.

Sejarah Ordo Kapusin Propinsi Pontianak tidak dapat dilukiskan tanpa kaitannya dengan pendirian Keuskupan Agung Pontianak. Para Biarawan Kapusin adalah pionir dalam pendirian paroki-paroki dan Keuskupan Agung Pontianak. Misi Kapusin di Kalimantan dimulai pada tanggal 30 November 1905, tepatnya di Singkawang, Kalimantan Barat. Misi ini dirintis oleh empat orang Kapusin dari Belanda, yaitu: Pater Pasificus Boos, Pater Eugenius, Bruder Wilhelmus, dan Bruder Theodovicus. Misi ini sebenarnya melanjutkan misi yang telah dimulai oleh Ordo Jesuit yang melayani Indonesia pada waktu itu.
Singkawang adalah stasi pertama. Umat Katolik di Singkawang pada waktu itu sekitar 300-an orang Tionghoa. Pada Tahun 1906 Para Kapusin berangkat ke Sejiram dan mendirikan sebuah paroki. Pada tahun 1908 mereka mendirikan sebuah Paroki di Lanjak. Kemudian, datang dua orang misionaris baru Kapusin di Kalimantan Barat. Pada tahun 1907, kedua-duanya ditempatkan di Laham Kalimantan Timur. Pada tahun yang sama yakni tahun 1907 didirikan Paroki Pemangkat, Paroki Pontianak tahun 1909, Paroki Sambas tahun 1914, Paroki Nyarumkop pada tahun 1916, dan Paroki Sanggau tahun 1925. Pada permulaan karya misi di Kalimantan Barat tidaklah begitu mudah. Oleh karena itu, para misionaris mendirikan lembaga-lembaga pendidikan untuk menarik kaum muda. Lembaga-lembaga pendidikan itu antara lain: Sekolah Pertukangan di Singkawang tahun 1913, Pusat Pendidikan di Nyarungkop pada tahun 1913, dan Sekolah Pertukangan di Pontianak pada tahun 1928. Sekolah-sekolah ini pada akhirnya menghasilkan tokoh- tokoh Gereja di Kalimantan Barat.

Pulau Kalimantan adalah daerah misi yang terbesar, sebab itu pada tahun 1925, Wilayah Sintang diserahkan ke Serikat Maria Montfortan (SMM). Pada tahun 1926 misi Kapusin di Kalimantan Timur diserahkan kepada Kongregasi MSF dan sesudah penjajahan Jepang, karya misi di Ketapang diserahkan kepada Kongregasi Passionis. Pada waktu itu, Mgr. Pacificus Boos OFMCap adalah Prefect Apostolic yang kemudian menjadi Vicaris Apostilic pertama. Ketika dia sakit, dia digantikan oleh Mgr. Tarcicius Van Valenberg OFMCap.

Pada Tahun 1942-1945, semua misionaris di Kalimantan Barat dipenjara di Kuching- Sarawak, Malaysia oleh penjajah Jepang. Setelah selesai masa penjajahan, pada tahun 1957, Mgr. Herkulanus Van den Berg OFMCap menggantikan Mgr. Tarcicius OFMCap. Pada tahun yang sama, tiba di Kalimantan Barat tiga orang Misionaris Kapusin dari Swiss, yakni: Pater Franz Xaver Brantschen OFMCap, Pater Ewald Beck OFMCap, Pater Rene Roscy OFMCap. Sementara itu para kapusin dari Propinsi Belanda melaksanakan karya misi mereka di Tanzania. Ini disebabkan karena para misionaris dari Belanda tidak lagi diijinkan masuk di Indonesia oleh Pemerintah Indonesia.

Pada tahun 1934, Fr. Pacifikus Bong OFMCap, Kapusin Indonesia pertama ditahbiskan sebagai seorang imam. Tahun 1966 menyusul Fr. Matheus Sanding OFMCap menerima tahbisan imamat dan tahun 1967 Fr. Hieronymus Bumbun OFMCap juga ditahbiskan menjadi imam. Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1977 Pater Hieronymus Bumbun OFMCap ditahbiskan menjadi seorang uskup dari Keuskupan Agung Pontianak, Kalimantan Barat.

Karena jumlah para Kapusin di Indonesia semakin bertambah, pada tanggal 31 Januari 1976 Propinsi Kapusin Indonesia didirikan. Propinsi Kapusin Indonesia terdiri dari tiga Regio, yakni: Regio Kapusin Medan, Regio Kapusin Pontianak dan Regio Kapusin Sibolga. Propinsial pertama Kapusin Indonesia adalah Pater Gonsalvus Snijders OFMCap; Propinsial kedua adalah Pater Barnabas Winkler OFMCap, sementara Superior pertama Kapusin Regio Pontianak adalah Pater Amantius Pidjenburg OFMCap.

Selain itu, karena jumlah Kapusin Indonesia semakin bertambah significan dan karena alasan geografis, pada tanggal 2 Februari 1994, Propinsi Kapusin Indonesia dibagi menjadi tiga Propinsi, yakni: Propinsi Kapusin Medan, Propinsi Kapusin Pontianak dan propinsi Kapusin Sibolga. Sampai saat ini ketiga propinsi Kapusin telah bekerjasama, terutama dalam bidang pendidikan para calon kapusin di Pematangsiantar, Sumatra Utara. Sekarang ini Kapusin di Propinsi Pontianak berjumlah 139 orang termasuk postulan dan novis (s/d Maret 2015). Para saudara kapusin berkarya di di Keuskupan Agung Pontianak, Keuskupan Sanggau, Keuskupan Sintang, Keuskupan Palangkaraya, dan Keuskupan Agung Jakarta. Beberapa dari mereka sedang berkarya di Australia, New Zealand, Timor Leste dan Roma, dan beberapa orang sedang studi lanjut di Roma, Philippina dan Indonesia. Karya-karya para Kapusin antara lain di Paroki-paroki, Rumah Retret, Persekolahan, Asrama, LSM dan sebagainya.



0
Baca Selengkapnya >>>

Friday, April 10, 2015

Editor: P. Gabriel Marcel, OFMCap.



Kondisi Geografis Kalimantan Barat

Secara geografis Kalimantan Barat adalah salah satu provinsi di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Provinsi Kalimantan Barat dengan ibukotanya Pontianak terletak di antara garis 20 08’ LU dan 30 05’ LS serta di antara 1080 0’ BT dan 1140 10’ BT pada peta bumi. Berdasarkan letak geografis yang spesifik ini, maka daerah Kalimantan Barat tepat dilalui oleh Garis Khatulistiwa (garis lintang 00 ) tepatnya di atas kota Pontianak.

Wilayah Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang langsung berbatasan dengan negara tetangga, yaitu Negara Bagian Serawak, Malaysia Timur. Posisi geografis ini menjadikan Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang secara resmi telah memiliki akses jalan darat masuk dan keluar ke/dari negara asing, seperti Malaysia dan Brunai Darussalam. Hal ini terjadi karena antara Kalbar dengan Serawak terbuka jalan darat antar negara yang bisa dilalui kendaraan umum via poros jalan antar negara Pontianak–Entikong–Kuching (Serawak Malaysia) sepanjang 400 Km dan dapat ditempuh enam sampai delapan jam perjalanan darat. Batas wilayah Provinsi Kalimantan Barat adalah sebelah utara Serawak (Malaysia), sebelah selatan dengan Laut Jawa, sebelah timur dengan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur dan sebelah barat dengan Laut Natuna dan Selat Karimata. Ada empat kabupaten sebelah utara Kalimantan Barat yang berbatasan dengan negara jiran Malaysia : Sambas, Sanggau, Sintang dan Kapuas Hulu. Sebagian besar wilayah Kalimantan Barat merupakan daratan berdataran rendah dengan luas sekitar 140.807 Km2 atau 7,53 persen dari luas Indonesia, atau 1,13 kali luas pulau Jawa. Wilayah ini Membentang lurus dari utara ke selatan sepanjang lebih dari 600 kilometer dan sekitar 850 kilometer dari barat ke timur. Bagian lain adalah perairan laut dengan puluhan pulau-pulau. Pulau yang besar adalah pulau Karimata dan pulau Maya.


Kedatangan Injil di Kalimantan Barat

Menurut data-data arsip Ordo Fransiskan mencatat bahwa pada tahun 1313 Kalimantan dikunjiungi oleh Odorico de Pordone. Ia singgah dalam rangka menuju ke Cina dari Eropa dan mampir ke Sumatra, Jawa dan Kalimantan serta sempat singgah ke ibukota Majapahit. Selama abad 16 banyak misionaris mengunjungi Indonesia, tetapi tidak seorangpun yang ke Kalimantan. Ini berlangsung sampai tahun 1688, ketika akhirnya datang lagi beberapa imam dari Kongregasi Theatin ke Kalimantan.

Tahun 1847 Mgr. Vrancken mengadakan kontak pertama dengan Ordo Yesuit untuk membicarakan tentang Kalimantan. Pada masa itu Kalimanatan merupakan bagian dari provinsi Ordo Yesuit. Dalam tahun yang sama Vikaris berunding dengan G.G. Rochussen. Kemudian dia berbicara dengan Residen Willer dari Sambas dan Residen Pontianak dengan hasil keputusan bahwa: G.G. Rochussen tidak keberatan misi mulai bekerja di Kalimantan Barat, asal di daerah di mana belum ada pendeta. Menurut artikel 171 yang dikeluarkan pemerintahan Hindia-Belanda melarang adanya misi ganda di suatu wilayah. Pada masa itu wilayah Borneo Selatan (Kalimantan Selatan dan Tengah saat ini) sudah dimasuki misi Protestan.

Dalam tahun 1851-1853 pastor Sanders beberapa kali melakukan survey hingga jauh di Kalimantan Barat dan Timur, untuk menyelidiki kemungkinan-kemungkinan pembukaan misi. Tahun 1862 Pastor van Grinten berkeliling di pelbagai daerah orang Dayak di Kalimantan Barat. Laporan mereka optimis jika Kalimantan akan menjadi daerah pekabaran Injil yang berkembang, tetapi bertahun-tahun lamanya tidak ada berita lagi. Hal ini disebabkan karena kekurangan tenaga dan waktu itu di Kalimantan Barat cukup lama kurang aman, dan sering kali terjadi pertentangan yang kadang-kadang hingga menimbulkan pertumpahan darah antara pemerintah dengan kongsi-kongsi yang berkuasa di sana.

Umat Katolik Kalimantan Barat dikunjungi oleh para misionaris dari Jakarta. Pater de Vries dalam tahun 1865 bertemu di Singkawang dengan seorang Tionghoa yang sudah dibaptis dan yang sudah mendapat lima orang katekumen. Dalam tahun-tahun berikutnya tidak ada berita lagi.

Dalam tahun 1872 pastor Timmermans mengunjungi Kalimantan-Barat disertai oleh Petrus Chang, seorang katekis yang datang dari Tiongkok dan akan bekerja di Bangka. Antara 7 Mei dan 12 Juli 1874 Pater de Vries mengunjungi Pontianak, Sintang, Bengkayang, Sambas, Singkawang dan Monterado. Di Singkawang ada umat Katolik Tionghoa berjumlah 51 orang yang sudah dibaptis, ada yang menjadi Katolik di Singkawang sendiri, ada yang datang dari Bangka atau Malaya.

Di Pontianak masih terdapat enam orang Tionghoa yang Katolik, dan beberapa di Monterado. Di tiga kota ini Pater de Vries telah mengangkat seorang“sensang atau katekis; sensang di Pontianak ternyata mencandu, lalu dipecat. Di Singkawang seorang wanita Tionghoa menyumbangkan sebidang tanah dengan 700 pohon kelapa. Sebuah gereja dibangun di sana, dengan sebuah kamar untuk pastor. Koster penjaga mendapat hasil dari pohon-pohon kelapa itu sebagai gajinya.
Karena umat Katolik sedikit demi sedikit bertambah, Pater de Vries dan Pater Staal SJ yakin bahwa harus ditempatkan seorang pastor tetap. Dalam tahun 1880 sudah ada umat Katolik 110 orang, yang hampir semuanya diam di Singkawang. Tahun 1884 beberapa pastor Mill Hill dari Borneo Inggris menawarkan diri untuk bekerja di Kalimantan Barat, tetapi ditolak oleh pemerintah Hindia Belanda.

Tahun 1885 G.G. van Rees mengizinkan didirikan stasi Singkawang yang meliputi Kalimantan Barat dengan 150 orang Katolik Tionghoa dan pulau Belitung 100 orang Tionghoa Katolik. Di samping itu masih terdapat 100 hingga 200 orang Belanda sipil, dan sejumlah tentara yang bertugas secara temporer. Pater Staal SJ sebagai pastor Paroki yang pertama. Maksud utama misi Singkawang ialah mendirikan basis bagi karya misi di antara orang-orang Dayak. Beberapa kali pastor Staal mengadakan perjalanan untuk meninjau situasi. Nasihatnya adalah supaya misi dimulai di antara orang-orang Dayak yang diam di sekitar Bengkayang, khususnya di Kampung Sebalau, daerah itu tidak terlalu jauh dari Singkawang sehingga antara pastor Sebalau dan pastor Singkawang bisa selalu mengadakan kontak. Residen Gijsbers dari Pontianak menganjurkan agar Pater Staal juga mengunjungi daerah lain. Lima hari berlayar memudiki sungai Kapuas sampai Semitau, pusat orang-orang Dayak dari suku Rambai, Sebruang, dan Kantuk. Walaupun orang-orang Daya di sana baik, namun karena jumlah mereka sekitar 1500 jiwa saja, dan perjalanan sulit sekali maka Pater Staal tetap di Sebalau.

Karena belum ada misionaris, misi Dayak diundur-undurkan saja, sampai tahun 1888-1889 ketika ada kabar bahwa salah satu Zending Protestan mungkin akan bekerja di sana, setelah itu tentu daerah itu tertutup bagi Misi Katolik. Karena sudah dijanjikan tambahan tenaga dari Negeri Belanda, Mgr. Claessens mohon izin untuk membuka dua pos baru, yaitu di Bengkayang dan di Nanga Badan, dekat perbatasan Sarawak Inggris, tempat menjabat seorang Kontrolir.

G.G. Pijnacker Hordijk tidak keberatan, namun menganjurkan supaya Semitau dipilih karena lebih gampang dicapai, apalagi pos Kontrolir Nanga Badan juga dipindahkan ke sana. Akhirnya Bengkayang tidak dipilih, karena terletak di daerah kuasa Sultan Sambas di mana para pejabatnya semua beragama Islam dan tidak ada jaminan bahwa mereka tidak akan menghalang karya misi di antara orang-orang Daya yang masih kafir.

Yang terpilih untuk misi baru itu ialah Pater H. Looymans, pastor di Padang (Sumatera Barat). Tanggal 29 Juli 1890 tiba di Kalimantan. Belum lama ia di Semitau, tapi jelas baginya bahwa Semitau bukan tempat yang ideal; daerah ini merupakan pusat perdagangan bagi daerah di sekitarnya, tetapi penduduknya hanya terdiri dari orang-orang Tionghoa dan Melayu, dan kontak lebih mendalam dengan orang-orang Daya hampir tidak mungkin. Karena itu ia pindah ke Sejiram , di tepi sungai Sebruang. Daerah ini cukup banyak penduduknya dan menerima Pastor dengan ramah tamah. Pada puncak bukit dibangun rumah sederhana. Dengan itu mulailah stasi kedua di Sejiram.

Sementara itu perkembangan Gereja Katolik di luar Kalimantan semakin meningkat, khususnya di Jawa dan Flores, sehingga sangat memerlukan tenaga. Karena tidak ada tenaga baru, maka dua pastor yang berada di Sejiram dan Singkawang di tarik kembali. Ini terjadi pada tahun 1897. Tahun-tahun selanjutnya Singkawang masih dapat dikunjungi oleh seorang pastor dari Bangka dua kali setahun, sedangkan Sejiram tidak mendapat kunjungan sama sekali.

Pada tanggal 11 Februari 1905 wilayah misi Kalimantan ditingkatkan menjadi Prefektur Apostolik Kalimantan yang berpusat di Pontianak.


Titik Balik Misi Katolik Kalimantan Barat

Setelah terjadi penyerahan wilayah pelayanan Borneo dari Ordo Yesuit kepada Ordo Kapusin (OFM. Cap) pada tahun 1905 terjadi titik balik perkembangan Gereja Katolik di Kalimantan Barat.

Suasana dramatis terjadi di Tilburg 16 Oktober 1905. Ratusan warga terkumpul di depan gereja dan biara kapusin dalam upacara pengutusan ini. Borneo (Kalimantan) pada masa itu masih dikenal sebagai daerah liar, Masyarakat Dayak digambarkan sebagai Wild Men from Borneo oleh orang Eropah. Cuaca dingin. Tapi hati mereka hangat mengambil bagian dalam semangat enam kapusin yang siap diutus ke Kalimantan. Dari umat ada yang kelihatan sedih. Ada yang secara tersembunyi mengusap sesuatu antara mata dan pipi. Itu pasti saudara keluarga dari enam misionaris itu. Ada yang menepuk bahu enam misionaris itu dengan membisikan yang sesuatu; tetapi dari wajah dan gerakan tangan mereka jelas mereka mau menggalang semangat kapusin-kapusin muda itu. Dari enam misionaris muda itu wajahnya ada yang serius dengan bayangan Kalimantan Barat sudah di depannya. Yang lain membalas umat dengan senyum gaya pahlawan. Pewartaan Injil. Itulah daya dorong bagi mereka sehingga sanggup meninggalkan saudara saudaranya; tanpa memperhitungkan kapan bisa berkumpul kembali dengan mereka.

Enam Kapusin itu adalah:
1.Pacificus Bos, imam, 31 tahun
2.Eugenius van Disseldorp, imam, 30 th
3.Beatus Baijens, imam, 29 th
4.Camillus Buil, imam,28 th .
5.Wilhelmus Verhulst, bruder, 30 th
6.Theodoricus van Lanen, bruder, 31 th.


Mereka tiba di Singkawang, 30 Nopember 1905, untuk pertama kalinya enam kapusin misionaris itu menyaksikan dengan gunung Raya dan gunung Pasi yang selama ini hanya mereka dengar saja. Kapal menurunkan mereka di pelabuhan kuala. Sesudah mendarat, mereka diantar ke “pastoran”, tempat sederhana yang ditinggalkan oleh misionaris misionaris Jesuit yang sebelumnya melayani Singkawang dari Batavia. Sebelumnya pada tanggal 10 April Pasifikus Bos OFM.Cap sudah diangkat menjadi Prefek Apostolik Kalimantan yang pertama. 

Maklumlah bahwa enam misonaris itu belum mengerti bahasa warga warga setempat. (Kemungkinan orang Khek dan Hoklo yang meninggalkan nama daerah Hoklonam). Syukur ada yang berperan sebagai juru bahasa.Segeralah pemimpin umat mengumpulkan umatnya sekitar 150 orang. Demikanlah enam kapusin mulai dengan bagian karya mereka. 

Dengan bahan bahan yang mereka bawa dari Belanda maka mereka mulai dengan sekolah. Perhatian untuk pendidikan ternyata sangat tepat, baik dalam rangka pewartaan maupun dalam perkembangan sosial lain. Jelas terasa bahwa sudah ada dasar yang diletakkan oleh misionaris misonaris dari Batavia. 

Tenaga awam sebagai katekis dan pemimpin umat melanjutkan karya pewartaan dan pelayanan rohaniah bagi warga warga. Mereka bekerjasama dengan misionaris misonaris yang baru datang itu Maka umat gereja berkembang terus dan meluas dari pantai ke daerah daereh pedalaman. Pada periode permulaan sebagian besar pekerjaan pelayanan umat ditangani oleh kaum awam, selaku katekis atau guru agama. Seorang katekis yang banyak bereperan besar dalam menyebarkan iman Katolik adalah Tsjang A Kang.


Penyerahan Wilayah Pelayanan Kepada Konggregrasi Lain

Wilayah Borneo terlalu luas bagi Ordo Kapusin. Sehingga pada Pada tanggal 13 Agustus 1924 Superior Provinsi Ordo OFMCap di Nederland mengirim surat meminta bantuan tenaga misionaris kepada Kongregasi MSF di Grave. Pada tanggal 12 Januari 1925 pater General MSF (Congregatio Missionariorum a Sacra Familia/kongregrasi misionaris Keluarga Kudus ) membalas surat itu dan memberitahu, bahwa MSF bersedia mengambil alih sebagian dari Vikariat Apostolik Pontianak. Dalam tempo yang tidak lama menjadi jelas bahwa MSF kemudian dipercayai untuk mengambil alih daerah Kaltim dan Kalsel (pada waktu itu Kalteng termasuk wilayah Kalsel). Seluruh anggota Kongregasi MSF, terutama di Belanda, bersorak-sorai. Meskipun tidak ada seorang anggota dewan general yang tahu sedikitpun mengenai daerah Kalimantan yang diambil alih, tetapi hal itu dianggap tidak penting; yang penting mempunyai daerah misi sendiri.

Setelah penyerahan wilayah kepada Kongregrasi MSF, ternyata Wilayah yang sangat luas dan medan yang sangat berat mendorong prefecture apostolic Borneo – Kalimantan, Mgr. Pasificus Bos, OFM. Cap. mengundang misionaris-misionaris dari kongregasi-kongregasi lain untuk ikut serta terlibat dalam karya misi di Kalimantan. Salah satu kongregasi yang diundang adalah SMM. Mgr. Pasificus Bos, OFM. Cap. mengundang SMM (Serikat Maria Montfortran) melalui provincial SMM Belanda. Pimpinan Umum SMM di Roma menyetujui usulan SMM propinsi Belanda untuk menerima undangan Prefektur Apostolik Borneo. Pada 23 September 1938, Tahta Suci melalui Propaganda Fide menyetujui permohonan yang diajukan oleh Prefektur Apostolik Kalimantan untuk menyerahkan sebagian karya misi di Borneo – Kalimantan, yakni daerah misi Sintang (sekarang keuskupan Sintang) kepada Serikat Maria Montfortan.

Daerah misi Sintang adalah daerah yang sangat luas, kira-kira 65.000 km. Pada saat itu, benih-benih iman mulai tertanam dan tersebar. Hal ini terbukti dengan sudah adanya 4 paroki, yakni paroki Sejiram (1888 – paroki pertama di Kalimantan), paroki Benua Martinus (1909), paroki Bika Nazareth (1925), dan paroki Sintang (1932).

Pada 7 April 1939, 3 misionaris SMM pertama dari Belanda, yakni P. Harry L’Ortye, P. Jan Linsen dan Br. Bruno, tiba di Pontianak. Inilah tahun di mana SMM untuk pertama kalinya hadir di bumi pertiwi ini. Setelah menempuh 900 km dengan perahu menyusuri sungai Kapuas, mereka tiba di Bika Nazareth, Kapuas hulu pada 29 April 1939. Paroki ini menjadi paroki pertama yang diserahkan Ordo Kapusin kepada SMM. Dua bulan kemudian, P. Jan Linsen mulai membangun paroki baru, yakni paroki Maria Tak Bernoda, Putussibau. Inilah paroki pertama yang dibangun oleh misionaris Montfortan. Untuk memperkuat karya misi, pada 7 Maret 1940, 2 missionaris Montfortan Belanda, yakni P. Josef Wintraaecken dan P. Lambertus van Kessel (kemudian menjadi uskup Sintang pertama) tiba di Bika.

Kendati daerah misi sangat luas dan berat, para Montfortan mencoba untuk melakukan yang terbaik. Semakin hari karya misi bertumbuh dan berkembang. Mereka kemudian merencanakan untuk mengambil alih beberapa paroki dari Kapusin. Akan tetapi, perang dunia II membuat rencana mereka tak terpenuhi. Jepang mengalahkan Belanda dan menduduki seluruh kepulauan nusantara. Semua orang Eropa, baik orang Belanda maupun Ingris – misionaris dan kaum awam, termasuk kelima misionaris Montfortan ditangkap dan dibawa ke Kuching, Malaysia. Mereka tinggal di kamp tawanan selama 3 tahun sampai perang selesai. Setelah perang usai, mereka kembali ke tempat pelayanan masing-masing.

Adalah penting untuk diketahui bahwa dalam masa perang, pada 1945, Aloysius Ding, orang Dayak pertama menerimakan tahbisan imamat di Flores. Ia ditahbiskan sebagai imam keuskupan. Kemudian, ia memutuskan untuk menjadi Montfortan. Setelah menjalani masa Novisiat di Belanda, ia mengucapkan kaul pertamanya pada 1949. Ia adalah Montfortan Indonesia pertama. Ia wafat pada 1995.

Setelah perang usai, beberapa misionaris Montfortan Belanda kembali diutus untuk memperkuat karya misi Sintang. Pada Paskah 1947, seluruh karya misi di Kapuas Hulu dan Sintang secara resmi diambil alih oleh para Montfortan dari tangan Kapusin. Para Kapusin kemudian meninggalkan daerah misi Sintang.

Karya misi para Montfortan di dalam membangun Gereja lokal semakin hari – semakin bertumbuh dan berkembang. Pada 11 Maret 1948, Propaganda Fide meningkatkan status daerah misi Sintang menjadi Prefectur Apostolik Sintang dan mengangkat. P. Lambertus van Kessel sebagai Prefektur Apostolik. Pada tahun ini, terdapat 15 Montfortan dan 7 paroki. Para Montfortan tidak hanya membangun gereja-gereja, tetapi juga sekolah-sekolah. Pada saat itu, sudah ada 17 sekolah Katolik. Para Montfortan tidak bekerja sendiri. Mereka dibantu oleh para katekis. Terdapat kira-kira 25 katekis pada 1948. Dengan ditingkatkannya status misi Sintang menjadi Prefektur Apostolik, itu berarti bahwa terdapat dua pimpinan structural dalam karya misi, yakni Mgr. Lambertus van Kessel, SMM sebagai Prefektur Apostolik dan P. Harry L’Orthy sebagai Pimpinan SMM. Tampaknya Tahta Suci begitu senang melihat pertumbuhan dan perkembangan Prefektur Apostolik Sintang. Pada 1956, Tahta Suci, melalui Propaganda Fide, kembali meningkatkan status karya misi Sintang dari Prefektur Apostolik menjadi Vikariat Apostolik.

Perkembangan Gereja semakin pesat sedangkan jumlah misionaris tidak terlalu banyak, maka bagian selatan Kalimantan Barat yaitu Kabupaten Ketapang belum dapat dilayani Prefektur Apostolik Pontianak secara maksimal. Baru setelah perang dunia II berakhir, ketika para Pater Passiionis datang membantu, daerah Ketapang mendapat perhatian penuh. Mulai saat itu ketapang menghadapi masa depan gemilang. Awal Mula Passionis di Ketapang Atas permintaan Mgr.Van Valenberg, OFM Cap memohon agar Pater-Pater Passionis bersedia berkarya di Kalimantan Barat. Maka permohonan ini disambut baik oleh Pater General dari Perserikatan Passionis dan Vicaris Apostolik Pontianak memutuskan bahwa konggregasi Passionis akan berkarnya dibawah vikariat Pontianak.

Wilayah karya pertama Passionis Belanda meliputi: Daerah Ketapang, Suka Dana dan Telok Melano. Kebanyakan penduduk terdiri atas orang Melayu, Tionghoa yang tinggal di daerah pantai dan orang Dayak di daerah pedalaman. Perjanjian dengan Kapusin dilaksanakan dengan Pater Clemens.

Tahun 1939 Pater Dominikus sebagai propinsial menunjuk P.Canisius Pijnappels, CP,P.Theophile Seesing, CP dan P.Bernadinus Knippenberg,CP untuk bersedia berkarya di Kalimantan Barat. Atas usul Mgr.Van Valenberg sebelum berangkat sebagai missionaris perlu dipesiapkan para missionaris dua orang belajar Bahasa Melayu selama 1 taun dan satu orang P.Bernadinus belajar bahasa Tionghoa selama 4 tahun.

Tanggal 18 Juni 1946 tiga missionaris pertama berangkat dengan kapal laut tentara negeri Belanda “Bolendam” ke Indonesia. Keberangkatan tiga misionaris ke Indonesia merupakan saat bersejarah bagi konggregasi Passionis.P.Theo-phile Seesing, CP batal berangkat karena kondisi belum mengizinkannya diganti oleh P.Plechelmus Dullaert, CP.

Tanggal 26 Juli 1946 dengan pesawat Dakota berangkat menuju Pontianak, P.Plechelmus Dullaert, CP langsung ke Ketapang, P.Canisius Pijnappels, CP langsung ke Nyarumkop sedangkan P.Bernadinus Pijnappels, CP sebagai superior tinggal beberapa bulan di Pontianak mempelajari garis-garis besar karya pastoral, administrasi, kearsipan kebijakan misi, pemerintahan, dan agama lain serta memperdalam bahasa Tionghoa khususnya Bahasa Hok Lo. 

Tanggal 1 Oktober 1946, P Bernardinus tiba di Ketapang. Bulan November 1946 ketiga misionaris sudah berada di Ketapang, dua pastor yaitu P.Canisius dan P.Plechelmus menetap di pedalaman yaitu Tumbang Titi. Sedangkan P.Bernardinus menetap di Ketapang kota untuk melayani orang-orang TiongHoa Katolik. Sampai bulan Juni 1947 ketiga Pater masih didampingi 2 Pater Kapusin yaitu Pater Martinus dan P.Leo De Jong. Umat Katolik waktu itu baru berjumlah kurang dari 600 orang. Umat Katolik di Ketapang berjumlah 140 orang yang terdiri dari 106 orang Tionghoa, 19 Dayak, 10 Belanda, selebihnya di stasi-stasi. Terdiri dari 133 orang di stasi. Mereka tinggal tersebar di Sungai Awan, Teluk Batang, Suka Dana dan Pulau Kumbang. 

Tahun 1948, Misi membuka daerah baru di Randau dan permulaan tahun 1949 di Tanjung. Dengan demikian sudah empat daerah misi yaitu Tumbang Titi, Ketapang, Randau, dan Tanjung. Tahun 1953 misi membuka basis di Sepotong (Sungai Laur) dua Pater menetap di situ. Tanggal 1 Juli 1950 Mgr.Van Valenberg, Uskup Agung Pontianak mengangkat Pater Raphael Kleyne, CP sebagai vicarius delegatus untuk daerah misi Ketapang. Tanggal 27 Februari 1952, ia bersama bruder Caspard Ridder de can de Schueren meninggal dunia akibat kecelakaan kapal motor, tenggelam di Sungai Pesaguan. Tahun 1953 Pater Gabriel W. Silekens, CP diangkat menjadi superior religious Passionis misi Ketapang dan vicarius delegatus/wakil vikaris.

Sumber: http://andikagz.blogspot.co.id/2014/07/sejarah-gereja-di-kalimantan.html?m=1




0
Baca Selengkapnya >>>

Tuesday, July 16, 2013

P. F. Cahyo Widiyanto, OFMCap.



Dalam buku Fioretti, ada sebuah kisah tentang St. Fransiskus yang memperdamaikan penduduk kota Gubbio dengan seekor serigala yang ganas.

Pada waktu itu, di kota Gubbio hiduplah seekor serigala yang amat besar, lagi mengerikan dan ganas. Ia bukan saja memakan binatang-binatang, tetapi juga manusia. Semua penduduk kota itu hidup dalam ketakutan dan tidak berani pergi sendirian. Melihat situasi yang demikian St. Fransiskus merasa kasihan, sehingga ia ingin mendamaikan serigala itu dengan penduduk kota Gubbio, sekalipun mereka melarangnya pergi.

Ketika Fransiskus memasuki daerah serigala itu bersama-sama sahabatnya, ia membuat tanda salib dan menaruh kepercayaan sepenuh-penuhnya pada Allah. Ketika saudara-saudara lain tidak mau pergi lebih jauh lagi, St. Fransiskus berjalan terus menuju tempat serigala itu bersarang. Ketika serigala itu melihat Fransiskus, maka ia pun menyerbu ke arahnya dengan cakar-cakar yang terbuka. Ketika ia mendekat, St. Fransiskus membuat tanda salib di atasnya dan menyapanya, “Kemarilah saudara Serigala. Demi nama Kristus aku memerintahkan kepadamu jangan menyerang aku”. Dan aneh bin ajaib, begitu St. Fransiskus membuat tanda salib, serigala yang ganas itu pun memasukkan cakar-cakarnya kembali. Ia menaati perintah St. Fransiskus dan datang membaringkan diri di kaki St. Fransiskus dengan lembut seperti seekor anak domba.

Kemudian St. Fransiskus mengajak Serigala itu membuat suatu perjanjian dengan penduduk kota Gubbio. Dari pihak Serigala, ia harus berjanji bahwa ia takkan mengganggu dan melakukan kejahatan dengan penduduk kota Gubbio lagi. Dari pihak penduduk kota Gubbio, mereka berjanji, akan menyediakan makanan yang dibutuhkan serigala itu setiap hari. Dan sebagai jaminan bahwa perjanjian itu akan dilaksanakan dan ditepati, maka St. Fransiskus mengulurkan tangannya, dan serigala itu mengangkat kaki depannya dan menempatkannya dengan lembut dalam tangan St. Fransiskus, sebagai bukti kesetiaannya.


Fransiskus Pencinta Damai dan Pelindung Kelestarian Alam

Dari kisah di atas dapat diketahui, bahwa St. Fransiskus memang sungguh-sungguh seorang yang mencintai kehidupan damai dan hidup bersaudara dengan semua makhluk ciptaan.

Bahwa St. Fransiskus dikenal luas sebagai pencinta damai dapat dibuktikan dalam pertemuan para pemimpin agama sedunia yang diadakan oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 27 Oktober 1986. Pada waktu itu pertemuan tidak diadakan di kota Roma ataupun kota besar yang lain, melainkan di kota Assisi. Di sana pertama kalinya semua pemimpin agama sedunia bersatu dalam doa untuk perdamaian dunia. Mengapa kota Assisi yang dipilih? Karena mereka tahu bahwa St. Fransiskus Assisi adalah pelopor perdamaian bagi semua agama. St. Fransiskus Assisi juga dikenal sebagai pelindung kelestarian alam, terbukti dengan dikukuhkannya beliau oleh Paus Yohanes Paulus II, sebagai “Pelindung Pemeliharaan Kelestarian Lingkungan Hidup”, pada tanggal 29 November 1979.

Melihat kehidupan St. Fransiskus yang dipenuhi dengan damai dan cinta akan lingkungan hidup, mungkin timbul pertanyaan di hati kita. Bagaimana St. Fransiskus sungguh dapat hidup damai dengan semua orang dan semua makhluk? Sumber-sumber inspirasi manakah yang ia gali sehingga ia dapat hidup harmonis dengan seluruh ciptaan?

Semua pertanyaan ini sumbernya hanya pada satu pribadi yang agung dan karismatis, yakni Yesus Kristus, Tuhan kita yang kisah hidup dan pandangan-pandangan-Nya dapat kita kenal melalui Kitab Suci. Kalau St. Fransiskus dikenal sebagai pencinta damai, maka ia belajar hidup dalam damai itu dari Yesus.

Pertama, Fransiskus tentu belajar dari ucapan yang penting dan fundamental dari Yesus yang bangkit – seperti kita dengarkan dalam Injil Yohanes – “Damai sejahtera bagi kamu!” (Yoh 20:19; 21). Jadi dari teks ini Fransiskus tentu menyadari bahwa sumber kedamaian sejati itu datangnya dari Tuhan.

Kedua, Fransiskus tentu memahami juga, bahwa di dalam Yesus lah surga dan bumi diperdamaikan dan dipersatukan kembali dengan Allah yang mahakuasa (SurOr 13; bdk. Kol 1:20).

Ketiga, Fransiskus tentunya dipengaruhi oleh Sabda Bahagia yang berkata, “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.” (Mat 5:9). Orang yang membawa damai ini oleh Fransiskus ditafsirkan sebagai “orang yang dalam segala penderitaannya di dunia ini tetap memelihara kedamaian dalam jiwa dan raganya demi cinta kasih kepada Tuhan kita Yesus Kristus” (Pth XV).

Kalau St. Fransiskus dikenal sebagai pelindung kelestarian lingkungan hidup, maka gelar ini dikenakan kepadanya karena selama hidupnya ia sungguh-sungguh bersikap sebagai Saudara terhadap seluruh alam ciptaan. Dan puncak dari doa dan semua tulisan St. Fransiskus, nampak dalam “Kidung Saudara Matahari”, di mana semua makhluk ciptaan, ia undang untuk bersyukur dan memuji Allah. Bahwa Fransiskus dapat hidup bersaudara dengan seluruh alam ciptaan ini: matahari, bulan. Bintang, angin, air, api dan ibu pertiwi (tanah), semua itu karena Fransiskus dapat melihat kehadiran Kristus dalam seluruh ciptaan. Kehadiran Kristus dalam ciptaan ini sudah ditegaskan oleh Paulus, “Sebab dalam Kristus telah diciptakan segala sesuatu, baik di angkasa maupun di bumi: baik yang kelihatan maupun yang tak kelihatan, singgasana, kerajaan, pemerintah dan penguasa. Segala sesuatu diciptakan dengan perantaraan-Nya dan untuk Dia” (Kol 1:16).

Jika seluruh ciptaan bersaudara, maka itulah hasil karya penyelamat yang memperdamaikan segala-galanya dalam diri-Nya. Kalau makhluk-makhluk dilihat sebagai saudara-saudari yang disatukan secara akrab, hal itu terjadi, karena Kristus menerima semua makhluk ke dalam cinta-Nya yang tak kenal batas. Walaupun ciptaan amat besar dan luas, namun dalam pandangan Fransiskus semua disatukan dalam cinta yang sama, “karena kasih karunia Allah yang menyelamatkan semua manusia telah nyata.” (Tit 2:11).


Menuju Hidup dalam Damai dan Cinta akan Alam

Menjadi seorang pembawa damai dan seorang yang memperjuangkan kelestarian alam seperti St. Fransiskus pada dunia dewasa ini masih sangat relevan.

Coba saja faktanya kita lihat. Pilkada di beberapa daerah di Indonesia menuai konflik: bentrokan antar pendukung dan perusakan fasilitas-fasilitas umum. Di tingkat internasional konflik Israel dan Palestina yang telah berlangsung bertahun-tahun sampai sekarang juga belum menemukan solusinya.

Di bidang lingkungan hidup, kita juga tahu, bahwa Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan. [Badan Planologi Dephut, 2003].”

Di tengah situasi yang mengancam perdamaian dan kelestarian lingkungan ini, baik dalam skala kecil dalam rumah tangga kita masing-masing, di komunitas kita, maupun dalam lingkungan masyarakat kita, kita sebagai orang beriman diundang menjadi pembawa damai dan pencipta kelestarian lingkungan. Bagaimana tugas perutusan ini dapat kita wujudkan?

Pertama, kita sendiri harus mengalami diri kita didamaikan dengan Tuhan. Artinya dalam kehidupan kerohanian kita, kita sendiri harus mengalami bahwa aku dikasihi Tuhan; bahwa dosa-dosaku telah ditebus oleh-Nya di kayu salib; bahwa Dia selalu menyertai aku dalam seluruh hidupku. Sehingga dalam hidupku aku merasa aman dalam tangan Tuhan. Dan untuk dapat mencapai pengalaman iman yang menyembuhkan, mengutuhkan dan mendamaikan ini, kita harus sungguh berserah diri kepada Tuhan.

Kedua, kita harus mendengarkan apa yang dikatakan St. Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma, “Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang.” (Rm 12:18). Apa artinya kata-kata Paulus ? Artinya Paulus menyadari, bahwa hidup dalam perdamaian bersama orang lain itu tidaklah mudah. Kita memang ingin hidup dalam damai, tetapi selalu ada saja hal yang membuat kita kemudian menjadi jengkel, marah, dan kemudian mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan hati, dan kemudian kita menjadi menyesal lagi. Namun di tengah kesulitan untuk menciptakan perdamaian ini kita tidak boleh menyerah. Dalam situasi apapun sedapat-dapatnya kita diminta berjuang untuk hidup berdamai dengan orang lain. Prinsip di sini yang dapat kita pegang – menurut Paulus adalah – “Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!” (Rm 12:21)

Ketiga, untuk bisa hidup menghargai sesama ciptaan, baik binatang maupun tumbuhan, kita harus mampu seperti St. Fransiskus melihat makhluk ciptaan dari sudut pandang Allah sendiri. Chesterton ketika mengomentari “Kidung Saudara Matahari“ karya St. Fransiskus mengatakan kepada kita, “Fransiskus dalam pengalaman mistik telah membuat “salto” dengan memandang semua ciptaan dari pihak Allah, dan sesudahnya, ia kembali ke dunia ini dan sejak saat itu, ia melihat dan mengalami semua makhluk dalam bentuk abadi dan sempurna.”

Marilah bersama St. Fransiskus, kita ciptaan perdamaian di rumah kita, tempat kita bekerja, dan di manapun kita berada; marilah kita hormati juga segala makhluk ciptaan lain, kita pelihara lingkungan hidup kita, sehingga dunia kita semakin menjadi harmonis dan indah, karena kita semua memantulkan keindahan pencipta kita, yakni Yesus Kristus Tuhan kita. Semoga. 


0
Baca Selengkapnya >>>

Monday, May 16, 2011

P. Pionius Hendi, OFMCap.



Pada suatu hari, seorang climber (pendaki gunung) mengajak beberapa temannya untuk mendaki sebuah gunung yang tinggi sekali. Gunung itu menjulang megah, namun penuh dengan jurang-jurang yang terjal. Konon katanya, di puncak gunung itu ada harta karun yang tersembunyi selama berabad-abad lamanya. Jarang sekali orang dapat sampai ke sana. Kalau pun sampai, harta karun itu tetap tak pernah diketemukan. Gunung itu memang penuh dengan misteri.

Sebelum memulai perjalanan, sang pendaki gunung dan teman-temannya mempersiapkan segala perlengkapan pendakian. Mereka membawa air minum, makanan secukupnya, kompas, peta, parang, dan lain-lain. Pokoknya segala perlengkapan yang diperlukan dalam perjalanan yang jauh. Setelah berbagi tugas, mereka pun memulai perjalanan. Suasana dingin dan berkabut, ditambah pemandangan kiri-kanan yang mengerikan. Tampaklah jurang-jurang bebatuan yang terjal dan pemandangan ke bawah yang menciutkan hati. Untuk mendaki, mereka harus bekerjasama, saling mengulurkan tangan dan membantu, bergantian membawa tas teman yang kelelahan, dan sebagainya.

Namun ada seorang teman yang kecewa dengan jalan yang telah mereka tempuh. Dia menunjuk ke satu arah yang tampaknya lebih nyaman untuk dijalani. Semua temannya yang lain tidak setuju. Namun karena dia bersikeras, akhirnya dia memilih jalan lain tersebut. Teman-temannya tidak bisa berbuat lain kecuali merelakan darinya. Untuk itu, dia harus menuruni jurang terjal dengan susah payah untuk mencapai perbukitan kecil yang berada di seberang. Sementara dia menuju ke lembah, sang pendaki gunung bersama teman-temannya yang lain sudah meninggalkannya jauh di depan.

Sang climber dan teman-temannya terus berjalan. Kendati sulit, mereka saling membantu satu sama lain. Temannya yang berada di depan bertugas sebagai perintis jalan, yang berada di tengah sebagai pembuang sampah, dan yang berada di belakang mulai menandai pepohonan sebagai penunjuk jalan bila mereka sesat. Yang lain lagi bertugas sebagai penghibur lewat ceritanya yang lucu mau pun nyanyiannya yang menyenangkan hati.

Akhirnya, mereka pun sampai di puncak yang menjadi tujuan perjalanan mereka. Kendati lelah, mereka berbahagia karena telah dapat menaklukkan gunung misteri itu. Bagi mereka, harta karun misterius itu tidak berarti apa-apa lagi. Mereka telah menemukan bahwa harta karun yang mereka cari selama ini sesungguhnya ada di antara mereka sendiri. Harta karun itu adalah: semangat persaudaraan yang kokoh di antara mereka!


0
Baca Selengkapnya >>>

Wednesday, February 13, 2008

P. Andreas Harmoko, OFMCap.


Apa itu aliran sesat?
Sinonim dan sifat aliran sesat.
Mengapa aliran sesat muncul?
Contoh-contoh aliran sesat.
Kita apakan aliran sesat ini?
Bagaimana Aliran Sesat di Indonesia?

Sebelum pemaparan isi materi seminar Rm. Eddy Kristiyanto, OFM memperkenalkan bukunya yang berjudul Selilit Sang Nabi: Bisik-bisik tentang Aliran Sesat. Mengapa Selilit? Selilit itu kotoran kecil (sisa makanan) yang terselip antara gigi setelah makan. Kecil dalam mulut tetapi cukup menggangu. Sang Nabi? Peran Gereja Kristus sebagai Nabi. Selilit Sang Nabi mau memperlihatkan bahwa seakan-akan Sang Nabi terselilit, Gereja terselilit. Bisik-bisik? Aliran sesat telah dianggap sebagai hal yang buruk, tidak baik terjadi dalam Gereja. Jadi, ada baiknya dibicarakan secara pelan-pelan atau bisik-bisik saja. Sama halnya bila terjadi keributan dalam rumah tangga, seorang bapak / ibu dengan anak-anaknya, seorang anak yang berbuat suatu hal yang mempermalukan keluarga. Sebaiknya diomongin bisik-bisik aja. Aliran Sesat? Himpunan orang yang keluar dari rumusan yang sudah baku/standard.


Apa itu Aliran Sesat?

Sinonim

Aliran sesat=Bidaah=Bidat=Heresi merupakan paham, aliran, ajaran, gerakan keagamaan yang dimiliki oleh pemegang ortodoksi sebagai penyimpangan dari prinsip baku dan standard. Bidaah ini dilakukan oleh orang yang telah dibaptis secara sah, mengakui iman, tetapi kemudian menyangkalnya.

Sifat-sifat Aliran Sesat
  • Minoritas dalam mayoritas
  • Mengusik dan makar terhadap doktrin/ajaran mayoritas
  • Sasaran usil: Ajaran dan Praksis agamanya sendiri.
  • Ekslusif, merasa puritan, militan, Gereja dalam Gereja/Ecclesia nos sumus (ajaran Montanisme).
  • Memiliki tokoh anutan, tokoh karismatis
Mengapa Aliran Sesat muncul?
  • Lembaga agama terlalu kaku, establish, tidak inspiratif, lebih banyak merepotkan diri dengan unsur formal, yuridis, dan superfisi.

  • Lembaga agama memberi stigma

  • Tokoh karismatis yang mengaku diilhami oleh oleh otoritas tertinggi (absolut) demi “pemurnian” lembaga agama dan mengedepankan jalan lain.

  • Lalu dilakukan penafsiran baru atas Kitab Suci dan pengalaman rohani.

  • Keplin-planan penghayatan iman orang yang mengaku beragama

  • Keprihatinan yang muncul dari tokoh karismatis atas kenyataan yang hidup dalam mayoritas

Contoh-contoh Aliran Sesat

Rm. Eddy membagi Aliran-aliran Sesat sebagai berikut:
  • DUALISME TRINITARIAN SPIRITUAL MORAL POLITIK ESKATOLOGIS
    Gnostisisme Arianisme Valdus Pelagius Galikanisme Joackim
    Manikeisme Subordinasianisme Patrareni Quiestisme Febrosianisme Millenarisme
    Catharianisme Nestorianisme Fraticelli Jansennisme Ultramontanisme Montanisme
    Albigansianisme Doketisme Donatis Joseph II
    Bogomil Apolinarianisme Ikonoklasme Modernisme
    Priscilian Monofisit Marcionisme
    Monoenergi
    Monotelet
    Eutyches
    Modal
    Patripassio

Mau kita apakan Si Usil ini?

 Karena menyesatkan, kita lalu menyerahkannya pada Lembaga Pengadilan? KWI atau PGI? Mengeluarkan fatwa seperti MUI terhadap Ahmadiyah, Lia Eden, dll?
 Menenggang perbedaan, toleran, dan tidak menganggap diri sebagai satu-satunya pemilik dan penafsir.
 Kis 5:39 merupakan prinsip arif.


Bagaimana di Indonesia?

 Ada aliran “tidak lazim”: Gereja Setan, Pondok Nabi, Eksploitasi Spiritual ala Bapak Thomas, Petrus Amadoren tentang Perawan Salome, Juru Selamat, New Age.
 Kontroversi tentang aliran ini masih akan tetap hidup.


Sejumlah pertanda

 Meramalkan tentang kegelapan, keruntuhan, pemurnian dunia ini
 Ada tanda-tanda gaib yang dipakai: patung, mantra, benda-benda yang dikeramatkan
 Mengakui bahwa tokoh karismatis tertentu tertentu mendapat ilham, visiun, bisikan dari otoritas tertinggi.
 Memanfaatkan instabilitas psyche/jiwa dengan kata-kata suci dan magis, selingan tangis, goncangan, air mata. Ketidakpastian, menjadi pisau pembelah perjalanan rohani
 Menjadi penghiburan
 Melegitimasi diri dengan Kitab Suci Kanonik, dan merujuk pada Daniel, Wahyu, kata-kata apokaliptik Tuhan Yesus.


Tolok ukur kemurnian ajaran

 Kitab Suci Kanonik
 Ajaran Para Bapa Gereja
 Kuasa Mengajar Gereja
 Tradisi Sehat
 Credo (Syahadat Para Rasul)
 Dalam kerjasama dengan kolegialitas uskup
 Kemaslahatan bagi paguyuban


Menyiasati Indikasi Aliran Sesat

 Konsolidasi ke dalam melalui KBG (Komunitas Basis Gerejani)
 Sharing pengalaman, doa, dan iman
 Pelaksana jujur amanat Kitab Suci
 Berelasi sehat dengan pimpinan dan komunitas lain
 Mengembangkan budaya dialog, terbuka
 Beriman secara kritis, rendah hati, gembira,
 Belajar sendiri, membaca (on going formation), bertanya pada orang yang punya integritas.

Telah banyak buku yang ditulis oleh Rm. Eddy Kristiyanto, OFM tentang Sejarah Gereja. Agar lebih mendalami tentang aliran-aliran sesat ini dapat diperoleh informasi dengan membaca bukunya yang berjudul Selilit Sang Nabi:Bisik-bisik tentang Aliran Sesat.


0
Baca Selengkapnya >>>