Fr. Aloysius Anong, OFMCap.
Kata “maaf” adalah ungkapan biasa yang sering kita dengar dan ucapkan.
Bahkan dalam bahasa asingpun gampang diucapkan “sorry” artinya sama yaitu “maaf”. Selain suku katanya sedikit, kata
ini juga gampang dalam pelafalannya. Kata “Maaf” meskipun hanya empat huruf,
tetapi menuntut keberanian
dari seseorang untuk mengucapkannya. Mengatakan maaf itu
mudah.
Melaksanakan
makna yang terkandung di dalamnya itu yang tidak gampang.
Memaafkan
Memaafkan adalah pekerjaan, aktivitas yang menjadikan
seseorang merasa nyaman, memberikan rasa lega dan sakit, yang disebabkan oleh
amarah dan dendam. Memaafkan merupakan suatu pengalaman adanya suatu
perpindahan dari suatu peristiwa yang tidak mengenakan beralih menjadi
peristiwa yang membebaskan.
Memaafkan
itu berarti membebaskan. Artinya dengan tindakan itu kita melepaskan seluruh
kekecewaan, kegelisahan, benci, marah, sakit hati, dan dendam di dalam diri
kita sendiri. Seraya itu pula kita ingin membuka diri untuk membangun pribadi
yang dewasa dalam pola pikir, sikap dan tindakan yang positif dalam menata kehidupan. Memaafkan
juga menjadi suatu pembelajaran berharga bagi kita. Karena memaafkan menuntut
kerendahan hati, dan keterbukaan diri bagi orang lain.
Memaafkan diri
Sebagai
makhluk ciptaan kita harus sadar bahwa kita tidak sempurna. Cerminan ini
hendaknya menghantar kita untuk bisa memberikan maaf kepada sesama yang telah berlaku tidak adil.
Setelah,
kita bisa
memaafkan orang lain, kita juga harus belajar memaafkan diri sendiri. Tindakan ini, menandakan diri
kita adalah bagian dari makhluk ciptaan, yang tidak sempurna. Masa lalu, biarlah berlalu
dan tidak perlu diungkit lagi. Kita mesti belajar untuk menerima diri apa
adanya. Dengan itu, kita berani untuk membuka lembaran baru dalam hidup.
Tentulah
untuk memaafkan diri sendiri, tidak seperti kita memaafkan orang lain.
Memaafkan diri memerlukan suatu permenungan dan refleksi yang mendalam. Artinya, kita mau mengenali diri
kita secara penuh sebagai manusia yang tidak sempurna. Kita mau membuka diri untuk
kelemahan dan kelebihan diri kita. Mampu berdialog dengan batin sendiri “menelanjangi” diri dihadapan diri
kita. Maka, tuntutan kepada
kita ialah menarik diri dari segala kesibukan hidup harian kita “menyepi”.
Setelah
pemeriksaan batin, dan sungguh mau mengakui dan menyadari semua kekurangan dan
kelebihan kita, maka kita bisa mengucapkan kata maaf untuk diri sendiri, yang
telah membuat orang lain sakit hati. Kita mau dan mulai berdamai dengan diri
sendiri. Introfeksi secara
mendalam dan total. Tindakan ini adalah hal yang paling
“kecil“ tetapi sangat berarti. Karena menuntut suatu kesungguhan-kesadaran yang mendalam.
Memaafkan orang lain
Setelah
kita berdamai dengan diri sendiri, maka kita juga harus bisa berdamai dengan
orang lain. Bagaimana caranya, ialah dengan memaafkan orang yang telah
menyakiti kita. Tentu ini akan menjadi berat jika tidak kita mulai terlebih
dahulu dengan diri sendiri. Semuanya akan menjadi mustahil, apabila kita
sendiri tidak berani untuk memaafkan diri sendiri. Jadi keduanya harus berjalan
beriringan.
Barangkali
kita masih ingat akan peristiwa penembakan almarhum Paus Yohanes Paulus II oleh
Mehmet Ali Agca. Bagaimana sikap
almarhum Sri Paus Yohanes Paulus II kepada si pelaku? Apakah ia mengutuk
sipelaku dan kru-krunya. Tidak! Sebaliknya, beliau membukakan pintu maaf serta
berdoa bagi Ali Agca. Bahkan, setelah sembuh dari lukanya Bapa Paus pergi
menjenguk Ali, dan berbicara secara kasih persaudaraan.
Tindakan
Bapa Suci di atas bukan tidak mungkin kita perbuat dan laksanakan. Bahkan bisa
lebih dari itu asalkan kita mau. Yesus sendiri telah mengajarkan kepada kita
bagaimana kita harus mengampuni. "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab
mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." (Luk23:34). Yesus
sanggup memberikan maaf kepada orang-orang yang ikut menyalibkan Dia, termasuk
di dalamnya ialah kita. Bahkan, Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Ia memberikan
jaminan kepada seorang penyamun untuk hadir bersama dengan dirinya di firdaus, "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada
bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus."(Luk 23: 43). Ajaran dan
teladan dari kedua tokoh suci di atas bisa kita jadikan sebagai permenungan
dalam hidup kita,
untuk semakin menghargai sesama.
Dengan memberikan maaf kepada orang
lain. Kita bisa memperoleh dua hal yakni membebaskan orang itu dari segala
kesalahannya. Kedua, ialah kebebasan diri kita sendiri. Menurut Lewis
B. Smedes ada empat keuntungan yang kita peroleh ketika kita memaafkan.
diantaranya ialah: pertama, kita
bisa membebaskan diri kita dari perasaan tersiksa, gelisah, dan susah karena
benci. Selain itu kita bisa membangun suatu sikap “Positif Thingking”
atau berpikir jernih. Kedua, kita tidak menjadi hakim bagi diri sendiri,
dan terhindar dari keinginan menyiksa diri dengan narkoba atau minuman keras. Ketiga,
kita siap menuju hidup baru, menyongsong hari esok dengan luwes dan lebih
cerah. Dan yang keempat, kita menciptakan kedamaian, serta menghargai
hidup di tengah manusia lain. Dengan demikian kita semakin menjadi manusia yang
utuh dan terintegrasi.
***††††††††††††††***
Memaafkan adalah suatu sikap untuk menuju ke arah “Positif Thingking“ atau berpikir jernih. Dengan berpikir jernih kita bisa dan berani untuk membuka diri secara universal kepada orang lain diluar diri kita. Memaafkan, juga merupakan suatu pilihan dalam hidup. Dengan “memaafkan“ berarti kita memilih satu pilihan yang selama ini di lupakan dan dijauhi.
Memberi
maaf berarti kita menawarkan suatu kehidupan yang baru. Kita mau hidup bersama
dengan kedamaian dan ketenangan. Maka, mari kita untuk berani memaafkan diri
sendiri dengan terus menggali nilai-nilai kerohanian kita, dan memaafkan orang
ain yang telah menyakiti hati kita secara tulus ikhlas, dan tanpa pamrih.
Dengan demikian kita menjadi pelopor yang bebas dan membebaskan, baik di
lingkungan sekitar kita maupun di dalam diri kita sendiri. Damaiku Bagimu.
No comments
Post a Comment