Slider Background

Pemanasan Global: Oleh-oleh dari Bali

Thursday, December 20, 2007

Pemanasan Global: Oleh-oleh dari Bali

PEMATANGSIANTAR - Pada tanggal 18 Desember 2007 yang lalu, diadakan pertemuan di Rumah Pembinaan Fransiskan (RPF) Nagahuta - Pematangsiantar. Pertemuan yang dimaksud adalah pemaparan hasil konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Nusa Dua, Bali beberapa waktu yang lalu, oleh Bruder Bernd, seorang Kapusin dari propinsi Munster, Jerman. Bruder Bernd sekarang ini sedang bertugas sebagai anggota JPIC di Roma yang diutus untuk mengikuti konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (Climate Change) atau yang lebih dikenal sekarang ini sebagai Pemanasan Global (Global Warming).
Pertemuan diawali dengan pemutaran slide "Save our Planet" yang menceriterakan tentang keindahan alam, kemudian pada akhir slide diperlihatkan kerusakan-kerusakan alam yang telah terjadi belakangan ini. "Salah siapa?", demikianlah tulisan terakhir dari slide tersebut dengan font berwarna merah. Sebuah pertanyaan refleksif!

Dalam mengawali pembicaraannya, Bruder Bernd memperlihatkan slide tentang pertemuan mereka di Nusa Dua, Bali beberapa hari yang lalu. Slide diawali dengan sebuah tugu yang berdiri kokoh di depan gedung konferensi, yaitu sebuah tugu yang memperlihatkan bumi sedang dipanggang di atas tungku dengan warna merah dan hitam di bagian ujungnya. "Temperatur bumi naik sejak tahun 1990, yaitu 0,70 °C. Hal ini disebabkan oleh bertambahnya gas karbondioksida (CO2) di udara. Jika terus begini hingga 20 - 40 tahun yang akan datang maka temperatur bumi akan naik hingga 5 °C", ujar Bruder Bernd di hadapan ± 100 orang peserta. "Bila temperatur bumi mengalami kenaikan yang demikian maka es yang ada di kutub Utara atau Selatan akan mencair. Es yang mencair tersebut akan menyebabkan kenaikan permukaan air laut dan kita tahu apa yang akan terjadi selanjutnya", tambahnya.

Es yang mencair merupakan penyebab kenaikan permukaan air laut. Daratan akan berkurang, air laut akan masuk ke sungai-sungai kecil dan menyebabkan air tawar berubah menjadi air asin, dan karena air asin ini maka curah hujan akan berubah-ubah, hujan semakin sering atau terkadang tidak datang hujan. "Bila temperatur bumi naik 2°C maka air laut akan naik 2 meter," tutur Bruder Bernd yang menyelesaikan program doktoralnya pada jurusan Biokimia ini di hadapan peserta yang rata-rata adalah para religius. Hadir pula beberapa Frater Kapusin asal Kalimantan Barat mendengar hasil konferensi tersebut.

Bruder Bernd menambahkan bahwa konfrensi yang diadakan di Nusa Dua, Bali dihadiri oleh perwakilan-perwakilan dari 192 negara yang termasuk dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan nampaknya dari kalangan pemerintah. "Dalam konfrensi tersebut masih ada negara-negara yang lebih mementingkan ekonomi daripada iklim, terutama negara besar", ujarnya.

Negara besar yang dimaksud adalah Amerika Serikat, Australia, Jepang, dan Kanada. Keempat negara besar ini, terutama Amerika Serikat, menjadi penghalang tercapainya kesepakatan. "Jadi, keputusan yang mengikat belum ada, karena satu negara, yaitu Amerika Serikat terus mendesak agar tidak membuat skema pengaturan yang bersifat mengikat (binding commitment). Tahun depan akan dibuat tetapi negosiasi harus disepakati sebelum akhir tahun depan", ucap Bruder ahli Biokimia ini.

Dijelaskan juga bahwa negara Indonesia adalah negara penghasil karbondioksida ke-4 di seluruh dunia. "Negara penghasil CO2 terbesar di dunia adalah Amerika Serikat diikuti Uni Eropa, China, Indonesia, India, dan Brasil", ungkapnya. Ditanyakan bagaimana CO2 diproduksi di Indonesia, Bruder Bernd menjelaskan bahwa Indonesia penghasil CO2 no. 4 bukan karena pemakaian energi yang berlebihan seperti di Amerika Serikat - walaupun ada cukup banyak- tetapi akibat penggundulan hutan (deforestasi) dan menggantikannya dengan perkebunan sawit dan banyak penyebab lainnya.

Seluruh peserta menjadi riuh ketika mendengar bahwa sawit dapat mengurangi penyerapan CO2. "Bukan penanaman sawit itu yang menjadi masalah tetapi karena penanaman monokultur (penanaman satu jenis tanaman di area yang luas), sehinga hanya membutuhkan beberapa zat/unsur hara yang ada di dalam tanah dan zat tersebut akan cepat habis, dan juga serangga tertentu saja yang akan mendapat makan", jelasnya.

Bruder Bernd juga menjelaskan pentingnya hutan-hutan yang ada sekarang yang diharapkan untuk tetap dipelihara. Karbondioksida yang diproduksi dapat diserapkan oleh pohon dan mengubahnya menjadi Oksigen (O2) kembali oleh hutan. Itulah alasan mengapa hutan-hutan penting sekali supaya dapat menangkap CO2.

"Hutan tropis mempunyai kekuatan 6-7 kali untuk menangkap CO2 daripada sawit, sedangkan hutan bakau (mangrove) dan tanah berawa-rawa (wetland) memiliki kemampuan 70 kali untuk menangkap CO2, " jelasnya. Bruder Bernd menambahkan, "Hutan bakau lebih baik dari hutan tropis untuk menetralkan cuaca, tetapi sayang sekarang ini sudah banyak dimusnahkan untuk perkebunan", katanya seraya menunjukkan pada slide hutan bakau yang telah hancur. Tanah berawa-rawapun sudah banyak diganti dengan tanaman nenas.

Salah seorang peserta bertanya bagaimana peran Vatikan sebagai sebuah negara dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Bruder Bernd menjelaskan, "Perlu diketahui bahwa Vatikan sebagai sebuah negara hanya sebagai pendengar yang mempunyai previlege khusus. Jadi, bukan anggota penuh (full member). Namun previlege yang dimiliki Vatikan seringkali tidak digunakan".

Bagaimana dengan di Indonesia? Apa yang mesti diperbuat untuk mengurangi produksi CO2? " Indonesia perlu mempertahankan hutan tropis yang masih ada dan juga hutan bakaunya", ungkap Bruder Bernd. Tentang lahan gambut juga dijelaskan bahwa gambut yang tertimbun setiap tahunnya setebal 2 mm. Untuk menahan sumber karbon tetap tersimpan di alam dapat dilakukan tidak hanya dengan mempertahankan hutan, tetapi dapat juga dengan hutan gambut (peat moss). Mempertahankan hutan dan gambut sebagai sumber penyimpan karbon tersebut berati juga menjaga fungsinya sebagai penyimpan air.

Bagaimana dengan kita, apa yang sudah kita lakukan untuk menjaga kelestarian alam demi mencegah pemanasan global? Dalam hal ini, kita bisa meneladani apa yang telah dirintis oleh P. Samuel Oton Sidin, OFMCap. Pastor yang memperoleh gelar doktoralnya dalam bidang Fransiskanologi ini adalah seorang tokoh yang sangat gigih memperjuangkan eksistensi hutan yang disebutnya sebagai rumah kita.

Beliau memulai karyanya beberapa tahun yang lalu di Bukit Tunggal, Sungai Ambawang-Pontianak. Beliau membeli puluhan hektar tanah yang telah habis terbakar dan hampir seluruhnya tandus karena hanya ditumbuhi oleh ilalang saja. Usaha yang telah dilakukannya antara lain: menanami berbagai jenis pohon yang bertujuan untuk penghijaun dengan pupuk seadanya, yang kelak bisa dimanfaatkan oleh para mahasiswa atau orang yang berkepentingan untuk penelitian. Di samping tetap setia dalam memberikan pelayanan sakramen kepada umat setempat, beliau juga mengajari masyarakat bagaimana cara menanam karet unggul dengan cara stek, sawah percontohan, pemeliharaan ikan, dsb.

Tetapi bagaimana dengan usaha pemerintah kita sekarang ini? Sampai sekarang belum tampak ada usaha. mudah-mudahan pada masa pemerintahan sekarang ini, pemerintah mulai memperhatikan keadaan alam. Salah satunya dengan mendukung setiap kegiatan yang bertujuan demi pelestarian lingkungan hidup atau sekarang ini lebih dikenal sebagai "demi keutuhan ciptaan". (P. Andreas Harmoko, OFMCap.)


« PREV
NEXT »

No comments

Post a Comment