PEMATANGSIANTAR - Pada tanggal 18 Desember 2007 yang lalu, diadakan pertemuan di Rumah Pembinaan Fransiskan (RPF) Nagahuta - Pematangsiantar. Pertemuan yang dimaksud adalah pemaparan hasil konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Nusa Dua, Bali beberapa waktu yang lalu, oleh Bruder Bernd, seorang Kapusin dari propinsi Munster, Jerman. Bruder Bernd sekarang ini sedang bertugas sebagai anggota JPIC di Roma yang diutus untuk mengikuti konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (Climate Change) atau yang lebih dikenal sekarang ini sebagai Pemanasan Global (Global Warming).
Pertemuan diawali dengan pemutaran slide "Save our Planet"
yang menceriterakan tentang keindahan alam, kemudian pada akhir slide
diperlihatkan kerusakan-kerusakan alam yang telah terjadi belakangan ini.
"Salah siapa?", demikianlah tulisan terakhir dari slide tersebut
dengan font berwarna merah. Sebuah pertanyaan refleksif!
Dalam mengawali pembicaraannya, Bruder Bernd memperlihatkan slide
tentang pertemuan mereka di Nusa Dua, Bali beberapa hari yang lalu. Slide
diawali dengan sebuah tugu yang berdiri kokoh di depan gedung konferensi, yaitu
sebuah tugu yang memperlihatkan bumi sedang dipanggang di atas tungku dengan
warna merah dan hitam di bagian ujungnya. "Temperatur bumi naik sejak
tahun 1990, yaitu 0,70 °C. Hal ini disebabkan oleh bertambahnya gas karbondioksida
(CO2) di udara. Jika terus begini hingga 20 - 40 tahun yang akan datang maka
temperatur bumi akan naik hingga 5 °C", ujar Bruder Bernd di hadapan ± 100
orang peserta. "Bila temperatur bumi mengalami kenaikan yang demikian maka
es yang ada di kutub Utara atau Selatan akan mencair. Es yang mencair tersebut
akan menyebabkan kenaikan permukaan air laut dan kita tahu apa yang akan
terjadi selanjutnya", tambahnya.
Es yang mencair merupakan penyebab kenaikan permukaan air laut. Daratan
akan berkurang, air laut akan masuk ke sungai-sungai kecil dan menyebabkan air
tawar berubah menjadi air asin, dan karena air asin ini maka curah hujan akan
berubah-ubah, hujan semakin sering atau terkadang tidak datang hujan.
"Bila temperatur bumi naik 2°C maka air laut akan naik 2 meter,"
tutur Bruder Bernd yang menyelesaikan program doktoralnya pada jurusan Biokimia
ini di hadapan peserta yang rata-rata adalah para religius. Hadir pula beberapa
Frater Kapusin asal Kalimantan Barat mendengar hasil konferensi tersebut.
Bruder Bernd menambahkan bahwa konfrensi yang diadakan di Nusa Dua, Bali
dihadiri oleh perwakilan-perwakilan dari 192 negara yang termasuk dalam
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan nampaknya dari kalangan pemerintah.
"Dalam konfrensi tersebut masih ada negara-negara yang lebih mementingkan
ekonomi daripada iklim, terutama negara besar", ujarnya.
Negara besar yang dimaksud adalah Amerika Serikat, Australia, Jepang,
dan Kanada. Keempat negara besar ini, terutama Amerika Serikat, menjadi
penghalang tercapainya kesepakatan. "Jadi, keputusan yang mengikat belum
ada, karena satu negara, yaitu Amerika Serikat terus mendesak agar tidak
membuat skema pengaturan yang bersifat mengikat (binding commitment).
Tahun depan akan dibuat tetapi negosiasi harus disepakati sebelum akhir tahun
depan", ucap Bruder ahli Biokimia ini.
Dijelaskan juga bahwa negara Indonesia adalah negara penghasil
karbondioksida ke-4 di seluruh dunia. "Negara penghasil CO2 terbesar di
dunia adalah Amerika Serikat diikuti Uni Eropa, China, Indonesia, India, dan
Brasil", ungkapnya. Ditanyakan bagaimana CO2 diproduksi di Indonesia,
Bruder Bernd menjelaskan bahwa Indonesia penghasil CO2 no. 4 bukan karena
pemakaian energi yang berlebihan seperti di Amerika Serikat - walaupun ada
cukup banyak- tetapi akibat penggundulan hutan (deforestasi) dan
menggantikannya dengan perkebunan sawit dan banyak penyebab lainnya.
Seluruh peserta menjadi riuh ketika mendengar bahwa sawit dapat
mengurangi penyerapan CO2. "Bukan penanaman sawit itu yang menjadi masalah
tetapi karena penanaman monokultur (penanaman satu jenis tanaman di area
yang luas), sehinga hanya membutuhkan beberapa zat/unsur hara yang ada di dalam
tanah dan zat tersebut akan cepat habis, dan juga serangga tertentu saja yang
akan mendapat makan", jelasnya.
Bruder Bernd juga menjelaskan pentingnya hutan-hutan yang ada sekarang
yang diharapkan untuk tetap dipelihara. Karbondioksida yang diproduksi dapat
diserapkan oleh pohon dan mengubahnya menjadi Oksigen (O2) kembali oleh hutan.
Itulah alasan mengapa hutan-hutan penting sekali supaya dapat menangkap CO2.
"Hutan tropis mempunyai kekuatan 6-7 kali untuk menangkap CO2
daripada sawit, sedangkan hutan bakau (mangrove) dan tanah berawa-rawa (wetland)
memiliki kemampuan 70 kali untuk menangkap CO2, " jelasnya. Bruder Bernd
menambahkan, "Hutan bakau lebih baik dari hutan tropis untuk menetralkan
cuaca, tetapi sayang sekarang ini sudah banyak dimusnahkan untuk
perkebunan", katanya seraya menunjukkan pada slide hutan bakau yang telah
hancur. Tanah berawa-rawapun sudah banyak diganti dengan tanaman nenas.
Salah seorang peserta bertanya bagaimana peran Vatikan sebagai sebuah
negara dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Bruder Bernd menjelaskan, "Perlu
diketahui bahwa Vatikan sebagai sebuah negara hanya sebagai pendengar yang
mempunyai previlege khusus. Jadi, bukan anggota penuh (full member).
Namun previlege yang dimiliki Vatikan seringkali tidak digunakan".
Bagaimana dengan di Indonesia? Apa yang mesti diperbuat untuk mengurangi
produksi CO2? " Indonesia perlu mempertahankan hutan tropis yang masih ada
dan juga hutan bakaunya", ungkap Bruder Bernd. Tentang lahan gambut juga
dijelaskan bahwa gambut yang tertimbun setiap tahunnya setebal 2 mm. Untuk
menahan sumber karbon tetap tersimpan di alam dapat dilakukan tidak hanya
dengan mempertahankan hutan, tetapi dapat juga dengan hutan gambut (peat
moss). Mempertahankan hutan dan gambut sebagai sumber penyimpan karbon
tersebut berati juga menjaga fungsinya sebagai penyimpan air.
Bagaimana dengan kita, apa yang sudah kita lakukan untuk menjaga
kelestarian alam demi mencegah pemanasan global? Dalam hal ini, kita bisa
meneladani apa yang telah dirintis oleh P. Samuel Oton Sidin, OFMCap. Pastor
yang memperoleh gelar doktoralnya dalam bidang Fransiskanologi ini adalah
seorang tokoh yang sangat gigih memperjuangkan eksistensi hutan yang disebutnya
sebagai rumah kita.
Beliau memulai karyanya beberapa tahun yang lalu di Bukit Tunggal,
Sungai Ambawang-Pontianak. Beliau membeli puluhan hektar tanah yang telah habis
terbakar dan hampir seluruhnya tandus karena hanya ditumbuhi oleh ilalang saja.
Usaha yang telah dilakukannya antara lain: menanami berbagai jenis pohon yang
bertujuan untuk penghijaun dengan pupuk seadanya, yang kelak bisa dimanfaatkan
oleh para mahasiswa atau orang yang berkepentingan untuk penelitian. Di samping
tetap setia dalam memberikan pelayanan sakramen kepada umat setempat, beliau
juga mengajari masyarakat bagaimana cara menanam karet unggul dengan cara stek,
sawah percontohan, pemeliharaan ikan, dsb.
Tetapi bagaimana dengan usaha pemerintah kita sekarang ini? Sampai
sekarang belum tampak ada usaha. mudah-mudahan pada masa pemerintahan sekarang
ini, pemerintah mulai memperhatikan keadaan alam. Salah satunya dengan
mendukung setiap kegiatan yang bertujuan demi pelestarian lingkungan hidup atau
sekarang ini lebih dikenal sebagai "demi keutuhan ciptaan". (P. Andreas Harmoko, OFMCap.)
No comments
Post a Comment