Slider Background

Pastor Dr. Samuel Oton Sidin: Bentara Ekologi Rumah Pelangi

Thursday, January 28, 2010

Pastor Dr. Samuel Oton Sidin: Bentara Ekologi Rumah Pelangi

Sdr. Lianto Lim


GUNUNG BENUAH - Sebuah wawancara Sdr. Lianto Lim/Duta dengan P. Samuel Oton Sidin OFMCap untuk Majalah Duta edisi Januari 2010:

Pastor Samuel Oton Sidin, OFM. Cap. lahir di Peranuk, Bengkayang, 12 Desember 1954. Pada tahun 1984, ia ditahbiskan menjadi imam dari Ordo Kapusin. Setahun kemudian, ia berangkat ke Roma, Italia, untuk menempuh pendidikan doktorat di bidang spiritualitas fransiskan. Pada tahun 1990, pendidikan doctorat dari Antonianum, Roma, diselesaikan dengan disertasi berjudul: The Role of Creatures in Saint Francis’ Praising of God. Pakar fransiskanologi ini terlibat lama dalam bidang pendidikan calon imam Kapusin di Parapat dan Pematangsiantar, Sumatera Utara. Lianto dari Duta sempat berdialog dengan Pastor Samuel Oton Sidin (SOS), pendekar ekologi dari Gunung Benuah. Berikut petikan pembicaraannya.


Duta: Pater, sejatinya, gagasan apa yang ada di balik Rumah Pelangi (RP)?

SOS: Keberadaan RP tidak terlepas dari upaya untuk ikut secara nyata melestarikan lingkungan hidup. Ada banyak dasar untuk melakukan hal tersebut. Pertama, sebagai bagian dari kemanusiaan atau masyarakat manusia, bumi adalah satu-satunya tempat tinggal manusia. Siapa pun dia, punya tanggung jawab untuk memelihara “rumah” tempat tinggalnya ini. Kedua, sebagai orang beriman, kita menerima warta Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Dalam Kejadian 21:8; Allah memberi “kuasa” kepada manusia atas segala makhluk. Dalam perintah itu terkandung suatu tanggung jawab pemanfaatan, pengelolaan, dan pelestarian alam seturut kehendak Allah. Selanjutnya, dalam kaitan dengan penebusan [Perjanjian Baru], manusia beserta seluruh alam ditebus: menjadi manusia dan alam baru. Seharusnya dengan itu, manusia dengan “rumah”-nya kembali pada posisi dan kondisi firdausi di mana mereka hidup dalam harmoni. Ketiga, sebagai fransiskan, kami mengikuti spiritualitas St. Fransiskus dari Assisi. Semua fransiskan dipanggil mencintai dan menyayangi alam. Bumi dengan segala isinya adalah buah karya Allah. Hormat dan cinta akan Allah tercermin dalam hormat dan cinta akan hasil karya-Nya. Keempat, coba simak kehidupan aktual kita. Kita berada pada saat bumi mengalami pemanasan global akibat pelbagai ulah manusia. Pada kenyataannya, bumi, rumah kita telah rusak. Sekecil apa pun upaya perbaikan dan pemeliharaan yang kita lakukan, sudah punya arti. Karya riil memang lebih bernilai daripada hanya wacana. Nah, dengan RP, diharapkan kapusin bisa tinggal menyatu dengan alam dalam upaya mewujudnyatakan hal-hal yang saya sebutkan tadi.


Duta: Konkritnya, bagaimana gagasan itu direalisasikan di RP?

SOS: Pertama, kita tinggal dalam hutan. Kedua, kita melindungi hutan yang masih ada. Ketiga, kita menanam pohon-pohon, terutama pohon buah-buahan dan pohon-pohon khas Kalimantan agar pelbagai jenisnya dapat dilestarikan. Keempat, kita mendirikan pusat pendidikan ekologis. Di RP, kita punya gedung pertemuan sederhana. Ada camping ground, tempat orang dengan leluasa menyatu dengan alam. Kita juga buat program pendidikan informal melalui rekoleksi, konferensi singkat, atau retret ekologis. Kelima, kelak kita akan menjadikan RP sebagai tempat wisata rohani dan ekologis.


Duta: Pater, apa reaksi atau respon masyarakat sekitar atas apa yang Pater lakukan di RP?

SOS: Masyarakat setempat masih sederhana. Pemahaman akan ekologi juga terbatas. Sebagian mendukung dan ambil bagian aktif melestarikan alam, sebagian lagi acuh tak acuh.


Duta: Lalu bagaimana dengan Pemda setempat? Apakah mereka pernah memberikan sokongan dana?

SOS: [Pastor Samuel terdiam sejenak, seraya melempar pandangan mata kosong dan dahi berkerut, dia menjawab pertanyaan Duta] Pemprov telah menyatakan dukungannya melalui Dinas Kehutanan dengan memberikan piagam penghargaan. Sejauh ini, kita baru mendapat bantuan “moril”. Dukungan finansial tidak ada. Kita harap lebih dari itu. Pemkab belum ada reaksi apa-apa. Mereka tidak proaktif mendukung. Mungkin karena mereka tidak tahu keberadaan kita.


Duta: Selama melakukan konservasi, apa saja kesulitan dan tantangan yang dihadapi RP?

SOS: Pertama, berhadapan dengan para penebang pohon: pohon-pohon di lahan kita pernah ditebang oleh orang luar. Kita coba mendatangi yang bersangkutan dan memberikan pemahaman agar tidak meneruskan kegiatannya di lahan kita. Di luar lahan kita, penebangan jalan terus, termasuk pengambilan cerucuk. Kedua, kesulitan keuangan. Kita tidak mendapat bantuan finansial dari mana pun. Namun kita coba jalan terus semampunya. Ketiga, sikap acuh tak acuh masyarakat. Sebagian besar masyarakat belum menangkap makna pelestarian lingkungan hidup. Hal itu terbukti dari penebangan yang tiada hentinya, termasuk penjualan tanah, eksploitasi tambang yang merusak alam, pembukaan lahan hutan tanaman industri, dan perkebunan sawit yang merambah hutan resapan air. Keempat, sikap yang kurang proaktif dari pemerintah, baik propinsi maupun kabupaten. Kami rasanya berjalan sendiri saja [tatapannya menerawang jauh ke hamparan “saudara-saudari” pepohonannya].


Duta: Mengapa diberi nama “Rumah Pelangi”?

SOS: Kata kunci “pelangi” diambil dari kisah Nabi Nuh. Setelah 40 hari 40 malam banjir raya menimpa manusia, muncul pelangi di cakrawala. Pelangi adalah tanda perdamaian dan harmoni dengan semua; Allah dan ciptaan-Nya, antara langit dan bumi dan dengan sekalian makhluk. Dengan memakai “pelangi” sebagai nama, kita berharap, rumah ini menjadi penebar harmoni. Setiap orang yang datang, datang dengan damai dan mau mengupayakan damai dengan semua. Dari rumah ini, kiranya muncul “pelangi” damai. Kita harap, simbol ini bisa menjadi kenyataan.



« PREV
NEXT »

No comments

Post a Comment