VATIKAN- Saat-saat terakhir sebelum meninggal (sebelum 2 April malam, pkl. 21.37)
31 Maret 2005, pkl. 5 sore, Vatikan dilanda kesibukan yang tidak biasa... Dokter pribadi Paus dipanggil tiba-tiba. Para wartawan yang selalu mengarahkan kamera dan micnya ke Vatikan mencium ada sesuatu yang tidak beres dengan Bapa Paus. Sejak Paus harus dirawat dua kali dalam sebulan (Februari-Maret) di Poliklinik Gemelli, para wartawan dari seluruh dunia memang sudah siap siaga dengan perkembangan kondisi kesehatan Paus.
Apalagi ketika dalam Minggu Suci, Bapa Paus tidak bisa ikut dalam perayaan-perayaan agung sejak Minggu Palma. Tidak hadir dalam Kamis Putih, absen dalam jalan salib Jumat Agung di Colloseo, tidak menampakkan diri dalam Misa Malam Paska. Itu semua sudah luar biasa, sebab selama 26 tahun lebih masa pontifikal (kepausan), beliau tidak pernah absen memimpin semua acara agung itu. Apalagi ketika Minggu Paska, beliau hanya muncul dari balik jendela apertemen setelah doa penutup misa Minggu Paska yang dipimpin seorang Kardinal (Angelo Sodano) dan ketika hendak memberi berkat Urbi at Orbi (berkat untuk Kota dan Dunia), beliau tidak dapat berbicara lagi. Suara desah saja yang keluar dari tenggorokannya. Puluhan ribu umat yang memadati lapangan S. Petrus tersekat tenggorokannya, terharu, sedih dan mau menangis melihat bagaimana Paus yang begitu lantang menyuarakan perdamaian, keadilan, pengampunan, cinta kasih dan pesan-pesan moral kehilangan suaranya. Keterharuan itu bukan hanya dialami oleh mereka yang hadir langsung di lapangan, namun juga olehku yang sedang mengikuti acara berkat Urbi et Orbi itu dari sebuah kota kecil di Italia Selatan, karena sedang membantu selama Minggu Suci di sana. Pelupuk mataku terasa panas dan kerongkonganku sangkut melihat tangannya bergerak memberkati semua umat, kepalanya bergoyang-goyang seperti tanda betapa beliau juga sangat penasaran tidak sanggup berbicara barang sepatah katapun, sorotan mata dan tarikan raut muka yang begitu bermakna, ketika mendengar umat di lapangan Basilika meneriakkan namanya berkali-kali dan bertepuk tangan. Semua hal yang terjadi sebelumnya ini ditambah datangnya dokter pribadi Paus membuat alarm semua wartawan terbangkitkan. Sri Paus sepertinya menghadapi saat-saat tersulit dalam fisiknya.
Beberapa saat kemudian, seiring makin redupnya matahari, jubir Vatikan, mengumumkan bahwa Bapa Paus diserang demam tinggi, hampir 400 C, karena infeksi saluran kemih dan tekanan darahnya turun mendadak. Tanpa komando lagi, sejak Kamis malam 31 Maret itu berbagai kantor berita internasional, suratkabar-suratkabar terkenal dan channel-channel tv dari berbagai negara menuntut semua wartawan/wati siap 24 jam di Vatikan dan memasang alat-alat komunikasi di sekitar Vatikan, karena Paus tidak mau dibawa ke Gemelli seperti yang sudah-sudah. Kali ini beliau mau bertahan di Vatikan saja. Mungkin beliau sudah dapat merasa, bahwa kali ini fisiknya yang tidak akan sanggup lagi bertahan atau melawan penyakit yang merongrong tubuhnya sejak 13 tahun terakhir ini. Beliau memang sudah menderita Parkinson sejak saat itu dan tahun-tahun terakhir membuat beliau begitu merosot dan bolak-balik dirawat di Gemelli, sehingga beliau berlelucon suatu saat, “Poliklinik Gemelli ialah Vatikan III.” Vatikan I tentunya Vatikan sendiri dgn Basilika S. Petrus. Vatikan II ialah Castel Gandolfo (tempat peristirahatan Paus selama musim panas di luar kota Roma).
Sejak pengumuman itu, malam itu juga ratusan sampai ribuan orang secara spontan berkumpul di halaman Basilika, berdoa dan menyalakan lilin untuk menunjukkan kedekatan mereka dengan Bapa Paus. Sebagian besar dari mereka ialah kaum muda. Ketika Paus mengetahui keberadaan banyak kaum muda yang semakin bertambah menjadi ribuan, beliau berkata (dan menjadi kalimat terakhirnya sampai beliau menghembuskan nafasnya), “Io vi ho cercato, e voi siete venuti da me. Io vi ringrazio.” Terjemahannya lk. begini, “I searched you, and now you come to me. I am grateful for you.” (“Saya mencari kalian dan sekarang kalian datang kepadaku. Saya berterima kasih kepada kalian.”). Ketika kalimat terakhirnya ini tersebar luas, semakin banyak kaum muda dari seluruh Italia datang untuk berjaga, berdoa rosario dan bernyanyi menemani Paus yang begitu mencintai mereka. Pada malam kedua, Jumat malam, ketika situasi Paus semakin kritis, tercatat hampir 80 ribu orang, tetap kaum muda bagian terbesar. Apalagi pada siang harinya sempat tersiar berita palsu, bahwa Paus sudah meninggal dunia, suatu berita yang segera dibantah oleh sumber resmi Vatikan. Hari itu juga saya bertubi-tubi menjawab sms yang datang dari Indonesia yang menanyakan kebenaran bahwa Paus sudah meninggal dunia hari Jumat, 1 April itu. Dengan singkat saya jawab, “April Mop”, sambil menjelaskan parahnya kondisi Bapa Paus yang terus berjuang dalam batas-batas hidup di dunia dan di alam baka. Kedekatan kaum muda dan cinta umat Katolik dan terhadapnya membuat suasana begitu khidmat di lapangan Vatikan. Semua berdoa dan berharap dalam campuran antara kepasrahan dan ketidakrelaan, mengharap mukjizat kesembuhan di dalam kesadaran bahwa kali ini Bapa Paus berada di antara batas hidup di dunia dan hidup di alam baka.
Malam itu suasana khusus itu semakin bertambah, ketika Kardinal Ruini (Wakil Paus untuk kota Roma) dalam misa khusus mendoakan Bapa Paus di Basilika Yohanes Lateran berkata dalam khotbahnya, “Sore ini atau malam ini, Yesus sedang membuka pintu surga-Nya untuk Bapa Paus.” Suasana hati semua yang hadir di lapangan Basilika semakin mengharu biru, menyadari bahwa teknologi medis sudah angkat tangan. Sekarang semua terpulang pada kehendak Tuhan. Doa rosario yang dipimpin oleh dua kardinal, dituntun dengan lagu-lagu dari kelompok koor spontan semakin melambung tinggi ke surga. Dari dalam kamar saya memasang televisi hampir 24 jam sehari (kecuali saat keluar untuk makan, doa atau ke kampus). Bahkan waktu tidur malam pun saya tetap menghidupkan channel televisi Italia dan/atau Vatikan yang menyiarkan perkembangan dari detik ke detik situasi di apertemen Bapa Paus dan keadaan di lapangan Basilika yang semakin menyemut. Siapa tahu waktu saya tidur, beliau dipanggil Tuhan dan saya bisa terbangun untuk menyaksikan detik-detik bersejarah itu. Channel-channel Italia juga menyiapkan suguhan berita seputar hidup dan kegiatan Bapa Paus, talk show, dll. Hampir semua kegiatan hura-hura dibatalkan di Italia, program olah raga nasional (termasuk pertandingan liga sepak bola Italia Jumat-Sabtu-Minggu yang sepertinya sudah menjadi “agama kedua” di Italia) dibatalkan, program-program kuiz dan hiburan tv juga dihapus... Semua menanti dengan cemas, apakah yang akan terjadi. Ternyata ucapan Kardinal Ruini belum terwujud 1 April malam itu. Palang pintu surga sudah dibuka Yesus, namun Bapa Paus belum melangkahkan kaki ke dalam.2 April 2005.... Sabtu, sepanjang pagi sampai dengan sore hari pengumuman dari Vatikan terus dikejar-kejar oleh para wartawan-wati yang haus akan perkembangan berita terakhir. Perasaan yang sama juga hidup dalam hati umat dan kaum muda yang terus berkumpul tak henti-hentinya di lapangan Basilika S. Petrus, Vatikan. Kepergian satu kelompok segera digantikan oleh kelompok lain yang lebih besar, sehingga pada malam hari 2 April 2005 jumlah umat dan kaum muda yang berkumpul untuk berdoa, bernyanyi dan berjaga mencapai hampir 100.000 orang. Lilin-lilin bernyala yang dipasang terus berpendaran di seluruh lapangan, berkedip-kedip ditiup angin musim semi yang lembut, menyinari wajah-wajah pucat, pasrah dan sebagian terus melantunkan lagu-lagu yang dulu populer sewaktu Pertemuan Kaum Muda Sedunia 2000 di Roma. Sebelumnya pada siang hari jubir Vatikan, Navvaro, mengeluarkan pengumuman bahwa situasi Bapa Paus tetap kritis, meskipun pagi hari masih sempat konselebrasi merayakan ekaristi dari tempat tidurnya bersama Uskup dan Kardinal pembantunya di dalam kamarnya. Sore hari jubir itu tidak memperbaharui pengumumannya, sehingga perasaan orang semakin tidak jelas. Sudah meninggalkah? Sudah komakah? Dll.... dst...Wawancara-wawancara televisi berlangsung dengan berbagai pihak di Italia, baik kalangan politikus (dari politikus katolik, nasionalis, sosialis, komunis), kalangan religius (Yahudi, Islam, Ortodoks, Katolik), lapisan umur (anak-anak kecil, muda, dewasa, orang tua, kakek-nenek), berbagai suku bangsa dari semua benua (Australia, Amerika, Asia, Eropa, Afrika), maupun kalangan profesi (narapidana, politikus, orang biasa, pensiunan, dll.). Semua mengungkapkan kebesaran Paus ini dalam satu dan lain cara: manusia pencinta damai, pembela kebenaran dan keadilan, pembawa pengampunan, manusia spiritual yang membumi, setia dan penuh iman, terjun dan terlibat secara penuh dengan masalah manusia, pencinta kaum muda, devosi yang dalam terhadap Maria, dll...
Ketika televisi sedang riuh-rendahnya mengungkapkan kebesaran dan keagungan Paus yang sudah melayani Gereja dan Dunia hampir 27 tahun (Oktober 2005 nanti genap 27 tahun) dan seratusan ribu umat katolik di lapangan S. Petrus berdoa rosario dan bernyanyi, tiba-tiba seorang Kardinal datang berbisik ke Kardinal yang sedang memimpin doa sekitar pkl. 22.00. Doa terhenti, semua umat yang hadir tertegun, sebagian mulai mengalirkan air mata, sebagian mengharap berita mukjizat, semua menunggu penuh kecemasan. Terdengarlah kalimat singkat, jelas dan menghunjam hati semua orang yang sampai detik itu masih berharap akan mukjizat, “Saudara-saudari yang terkasih, Bapa Paus yang tercinta sudah berpulang ke rumah Bapa pkl. 21.37 tadi. Mari kita doakan keselamatan arwah beliau.” Semua kepala dan mata umat otomatis berpaling ke jendela kamar apertemen di lantai tiga di sebelah kanan lapangan Basilika. Kamar yang semula gelap tiba-tiba menyala terang... Meledaklah tangis dan sedu sedan sebagian umat yang hadir, air mata mengalir deras, ada yang menutup mukanya dan tetes-tetes air mata merembes dari celah-celah jari-jemari; yang satu menyandarkan badannya lemas ke teman sebelah yang merangkul memberi kekuatan penghiburan di detik-detik bersejarah tak terlupakan oleh semua yang hadir di lapangan Basilika dan juga olehku yang mengikuti terus siaran televisi dari kamarku (sebenarnya saya ingin sekali hadir di lapangan juga, namun rumah kami letaknya di luar kota Roma dan tiada lagi bus kota yang lewat dekat Collegio kami). Lalu membahana tepuk tangan panjang dari semua umat sebagai tanda penghormatan kepada Bapa Paus yang telah memberikan begitu banyak kepada Gereja dan dunia, bahkan segala-galanya yang ada padanya. Tepuk tangan yang kemudian sekali lagi bergema, bahkan lebih panjang lagi sampai 20 menit (saya lihat jam tangan saya) saat doa rosario selesai, Kardinal pemimpin doa berteriak keras, “Viva Il Papa!” (Hiduplah Bapa Paus!).
Lonceng-lonceng gereja di Vatikan, di seluruh Roma, bahkan sampai ke kota Krakow-Polandia (tempat Paus dulu menjadi uskup agung sebelum jadi Paus) dan Wadowice (kota kelahirannya) berdentang bermenit-menit. Seolah-olah memberi tahu dunia, bahwa dunia sudah kehilangan salah satu penghuninya yang terbaik dalam abad terakhir ini. Suara lantang lonceng berseru kepada dunia katolik dan dunia secara keseluruhan, bahwa suara perdamaian, cinta kasih, keadilan, pengampunan dari Bapa Paus harus diteruskan oleh semua orang katolik dan orang yang berkehendak baik. “Non abbiate paura!” seru lantang Paus kepada 2 juta kaum muda katolik di Roma tahun 2000. Ya, “Janganlah kalian takut!” Kalaupun Paus yang teguh dan karismatis itu sudah pergi, jangan takut untuk meneruskan kabar baik yang telah dibela dan diwartakannya sampai detik terakhir hidupnya. “Janganlah kalian takut!” menjadi penjaga-penjaga dan pewarta Injil ke seluruh dunia. Ketika beliau masih hidup, pesannya disampaikan pada kaum muda, namun ketika beliau meninggal, lonceng-lonceng gereja meneruskannya kepada semua orang katolik di dunia dan semua orang yang berkehendak baik. Malam itu, 2 April 2005, “non abbiate paura” menjadi pesan universal melalui bisikan doa rosario, melalui dentang lonceng gereja, melalui hembusan nafas terakhir Bapa Paus.
Ketika berita kematian Bapa Paus tersebar ke seluruh dunia oleh media massa yang sudah menunggu sejak 3 hari, segera ucapan bela sungkawa datang dari seluruh penjuru dunia (dari berbagai pimpinan dunia, aneka agama, berbagai organisasi, dll.). Semua berisi pujian. Bahkan RRC, yang memutuskan hubungan diplomatik dengan Vatikan tahun 1950-an dan melarang umat Katolik mendoakan Bapa Paus, hari itu mengizinkan umat Katolik di seluruh gereja katolik di RRC untuk berdoa bagi arwah Bapa Paus. Kuba yang dipimpin Fidel Castro langsung mengumumkan hari berkabung nasional selama tiga hari. Dan malam itu menjadi malam yang panjang bagi semua yang hadir, karena hampir semua tidak mau meninggalkan lapangan Basilika. Hanya sebagian kecil yang meninggalkan lapangan, kebanyakan orang tua yang membawa anak-anak kecil yang tentunya tidak bisa tidur di lapangan terbuka beralaskan bebatuan dingin dan beratapkan langit. Sampai subuh puluhan ribu kaum muda masih berdoa, bernyanyi dan berjaga seolah-olah jenazah Bapa Paus ada di tengah-tengah mereka. Menjelang subuh baru sebagian dari mereka meninggalkan lapangan, namun pkl. 4 pagi sudah mulai ramai lagi, karena Minggu pagi di lapangan Basilika S. Petrus akan dirayakan Misa requeim untuk arwah beliau dipimpin Kardinal Angelo Sodano (Mendagri Vatikan).
3 April – 7 April 2005
Minggu pagi di Vatikan, kedua lengan collona raksasa lapangan Basilika hampir tidak sanggup menampung tumpahan semua orang katolik (dan mungkin juga yang tidak katolik) yang datang mengikuti misa requeim untuk arwah Bapa Paus. Salah satu di antaranya ialah saya sendiri, karena bersama dua kapusin Indonesia lainnya, kami datang menghadiri misa tsb. Di berbagai pojok halaman raksasa itu sudah muncul berbagai kartu dan kertas ucapan doa, bunga-bunga yang diletakkan di depan lilin-lilin dan gambar-gambar/kartu Bapa Paus. Misa requeim yang berjalan hampir dua jam menyatukan berbagai perasaan umat yang hadir saat itu. Dan dari khotbah Kardinal Angelo Sodano, muncul satu istilah yang menyatukan perasaan tsb. “Papa Giovanni Paolo II, Il Grande...”. Pope John Paul II, the Great... ! Ya, Sri Paus Yohanes Paulus II, Sang Agung...! Keagungan yang lahir bukan dari kebesaran asesori lahiriah dan artifisial selebritis dunia masa kini, namun kebesaran yang lahir dari semua perjuangannya sejak berjuang dari masa kecil di bawah tindasan kaum Nazi Jerman di Polandia dan perjuangan melawan komunis di masa kerjanya sebagai imam muda maupun uskup agung di sana. Keagungan yang berdasar pada iman yang pasrah pada Tuhan melalui devosinya kepada Bunda Maria, “Totus tuus” (segalanya bagimu). Kebesaran yang melekat pada karismanya untuk dekat pada semua orang dari semua pihak, pembawa damai dan persahabatan kepada semua agama, inspirator utama kehancuran komunisme di Eropa Timur dan hancurnya Tembok Berlin dan sumber inspirasi kebangkitan baru kaum muda katolik di Eropa saat ini. Seorang muda katolik menulis di kertas di halaman Basilika, “Justru di saat kematian beliau, saya menemukan kembali iman katolikku. Saya menyesal mengapa saya begitu terlambat menemukannya kembali.” Bahkan nantinya seorang imam di lapangan Tor Vergata harus melayani pengakuan dosa sepanjang malam dari banyak kaum muda yang menemukan kembali iman mereka, menjelang misa penguburan tgl. 8 April.
Dan sejak tgl. 3 April siang itu kebesarannya menarik jutaan orang dari seluruh Italia dan Polandia berduyun-duyun melayatnya, sejak beliau disemayamkan di apertemen sampai dipindahkan ke Basilika S. Petrus sendiri. Hari pertama 3 April setengah juta orang rela antri berjam-jam dengan teratur untuk memberi penghormatan terakhir kepada orang yang sudah terbaring dengan tenang dalam pakaian kebesarannya sebagai Paus. Sungguh suatu pemandangan yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata dengan baik dan lengkap. Hari pertama lk. satu kilometer antrian orang-orang datang menunduk dan berdoa di depan beliau tanpa putus-putusnya dari siang sampai malam.Hari kedua, 4 April 2004, saya turut bergabung dalam antrian yang lebih panjang lagi. Sejak pkl. 8 pagi saya sudah berada di bagian belakang antrian dan beringsut pelan-pelan ke arah yang jelas, Basilika S. Petrus. Saya mendapatkan diri di antara orang-orang dari berbagai suku bangsa, dengan bahasa berbeda-beda, dari segala lapisan umur. Kupotret seorang anak kecil yang masih berusia sekitar 2 tahun duduk di bahu bapanya sambil turut antri di bawah terik matahari. Sejam beringsut sekitar 200 m, namun jarak masih lebih dari 1 km. Di sebelah belakangku seorang nenek tua dengan gagah melangkah membawa kantong plastik dan menunjukkan kekuatannya untuk tetap maju sekalipun barisan antri kami sudah berjalan selama 3 jam. Tidak ada yang saling mendorong, semua saling tersenyum kalaupun kaki terpijak tanpa sengaja akibat padatnya antrian yang sudah sangat lebar (sampai belasan orang satu baris). Tidak terdengar gerutuan orang mengapa harus antri begitu lama... Semua seperti maklum, bahwa ratusan ribu orang yang ada sekarang berkumpul disatukan oleh satu hal: mau memberi penghormatan terakhir pada seorang Paus yang agung. Kaum muda yang mayoritas mendominasi barisan antri menghidupkan suasana dengan nyanyian-nyanyian mereka diiringi gitar. Kamera-kamera televisi sibuk mengabadikan kejadian-kejadian menarik sepanjang antrian hampir non stop (antrian memang hanya dihentikan 3 jam setiap hari [pkl. 2 s/d 5 dini hari]). Untuk menuntun umat yang antri berjam-jam, dan menciptakan suasana doa, layar-layar raksasa sepanjang jalan menuju Basilika S. Petrus-Vatikan menampilkan segala kegiatan Paus selama hidupnya. Berkali-kali tepuk tangan spontan membahana panjang, kalau wajah Paus muncul close-up di layar ketika duduk bercanda dengan anak-anak kecil, waktu beliau bertemu dengan Ali Agca di penjara, saat bercengkerama dan menari bersama kaum muda di berbagai belahan dunia, atau ketika beliau bersuara lantang melawan perang, melawan ketidakadilan di dunia, menganjurkan perdamaian dan perdamaian, membela iman katolik, dll. Sekali-sekali lagu-lagu rohani terdengar di sela-sela doa rosario yang menyelingi acara televisi membawa para peziarah bertahan dalam antrian berjam-jam di bawah terik matahari. Matahari semakin tinggi, waktu semakin panjang, 4 jam sudah lewat..., namun kubah Vatikan sudah semakin dekat. Air minum dari botol minumanku yang dibagikan gratis oleh para sukarelawan-wati untuk para peziarah yang kehausan sudah hampir habis. Perjuangan melawan letih, haus dan lapar sudah hampir terbayar. Tinggal 300 meter lagi... Namun 300 m itu pun masih harus ditempuh dalam waktu satu jam, karena di lapangan raksasa Basilika, garis antrian masih diputar seperti huruf S untuk menghindari menumpuknya orang antri di depan pintu Basilika. Akhirnya kakiku berhasil juga menginjakkan kaki di dalam Basilika S. Petrus setelah hampir 5 jam antri.
Suatu perasaan khusus menyelinap hatiku saat itu. Basilika yang sudah sering saya kunjungi dulu membawa sesuatu yang berbeda kali ini. Sekalipun ribuan orang sedang antri di dalam, suasana demikian hening, senyap dan hanya sekali-sekali terdengar detak sepatu dan seretan sandal yang mengisi keheningan. Seolah-olah orang takut mengganggu Sri Paus yang terbaring “tidur lelap” di ujung sana, dekat altar agung. Sri Paus yang terbaring dalam seragam kebesaran warna merah, berpinggirkan putih beludru dan kepala ditutup mitra putih. Tenang terbaring... Kakiku melangkah ke depan mengikuti orang-orang yang semakin mendekat. Sampai akhirnya saya berhadapan langsung dengan badan terbaring kaku. Wajah tenang, namun menampakkan kerut-merut yang seperti menahan semua rasa sakit yang dialami selama masa hidupnya, selama saat-saat terakhir hidupnya. Hanya sekejap saja saya diizinkan berdoa singkat di depan, sebab di belakang sudah ribuan orang sedang antri untuk memberi penghormatan terakhir. Yahhh, 5 jam antri panjang dan berhadapan hanya kurang dari satu menit, namun itu pun sudah cukup rasanya... Setengah menit yang membayar semua perjuangan panjang... Dan selesai menyampaikan doa singkat, kakiku melangkah ke luar Basilika untuk kembali ke Collegio. Dalam perjalanan ke luar Basilika kulihat banyak muda-mudi terduduk di sudut-sudut Basilika dengan air mata mengalir dan mata bengkak. Rasa kehilangan akan seorang sahabat, bapa, yang dapat dijadikan pokok acuan moral, tiang pegangan hidup membuat mereka menangis. Puluhan imam dan biarawan-wati duduk atau berlutut di lantai marmer Basilika yang dingin berdoa hening. Pemandangan yang mengharukan.
Hari-hari berikutnya semakin menampakkan betapa dekatnya hati orang muda dan umat kepada Paus yang agung ini. Jika jumlah pelayat hari pertama dan kedua sekitar satu juta orang, ternyata pada hari ketiga saja jumlah pelayatnya sudah lebih satu juta orang. Antrian yang hanya satu jalur pada hari sebelumnya menjadi tiga jalur dari arah berbeda dan lebarnya antrian semakin ditambah... Ketika saya merasa 5 jam sudah sangat lama untuk mengantri, pada hari ketiga (apalagi hari terakhir, keempat) orang harus menunggu antara 8-12 jam (satu hari penuh, mulai pagi antri, malam baru bisa masuk) untuk sanggup masuk Basilika. Walaupun begitu sebagian besar bertahan dalam antrian, tidak menyerah. Ketika ditanya wartawan alasan bertahan dalam antrian panjang, banyak orang menjawab, “Bapa Paus sudah berbuat begitu banyak bagi kami, apa yang kami buat sekarang belum apa-apa dibandingkan jasa beliau.” Dan mereka yang terpaksa harus mundur, karena kesehatan atau waktu tidak cukup menjawab, “Kami memang harus mundur, namun kami tidak kecewa.” Maka ketika Basilika ditutup pkl. 2 dini hari, sebagian orang yang belum berhasil masuk dan tertahan dalam antrian, tidur di mana mereka berhenti, entah itu di jalan raya atau di dalam lapangan Basilika. Para sukarelawan/wati sudah siap dengan selimut-selimut dan air minum. Ambulans-ambulans disiapkan di sekitar wilayah Vatikan sehingga orang-orang yang jatuh sakit atau pingsan selama antri segera mendapat bantuan. Puluhan WC siap pasang-bongkar yang didirikan di sekitar Vatikan berfungsi dengan baik. Hari terakhir kemarin, Kamis, hampir satu juta orang lagi dari segala penjuru dunia (Australia, Kanada, USA, Eropa, Afrika) masih mencoba mengantri satu detik-detik terakhir sebelum Basilika ditutup pkl. 23.00, karena sesudah itu semua daerah Vatikan harus dikosongkan untuk pengamanan ketat.Menurut perhitungan Pemda Roma, sekitar lebih dari 4 juta pelayat telah memberi penghormatan kepada Bapa Paus selama hari-hari ini, termasuk puluhan pimpinan negara dari segala dunia. Bahkan sebuah koran di Italia memberi judul pada berita penghormatan presiden Bush dengan sangat menarik, “Bahkan Bush pun berlutut di depan almarhum Paus Yohanes Paulus II” sambil menampilkan foto presiden Bush yang ditemani Bush senior dan Bill Clinton berlutut berdoa di depan jenazah Bapa Paus.
Kematian Paus merupakan peristiwa unik dalam sejarah abad modern dunia masa kini. Sebanyak 4 raja, 5 ratu dan lebih dari 100 pimpinan negara dari berbagai negara dan berbagai ideologi (diktator, katolik, sosialis, komunis, nasionalis, agama, republik) berkumpul menjadi satu. Roma dan Vatikan menjadi titik pusat perhatian dunia selama hari-hari ini. Karena itu tidak heran, pemerintah Roma menerapkan pengamanan super ketat. Mulai pkl. 2 dini hari s/d 18.00 tgl 8 April tidak boleh ada mobil pribadi yang diizinkan berjalan di dalam kota Roma, kecuali bus kota, metro dan taksi (dan tentunya mobil-mobil resmi kepala negara/kedutaan).
8 April 2005, Jumat, hari penguburan
Saya bangun pagi-pagi, sekitar pkl. 5 pagi hari ini. Kebetulan bersama beberapa teman kapusin, saya mendapat kartu undangan untuk turut membagi komuni dalam misa penguburan Bapa Paus di Vatikan. Sebenarnya misa penguburan baru mulai pkl. 10.00 (pkl 15.00 WIB/pkl. 16.00 waktu Singapura), namun kami sudah diharap hadir di kapel dalam Basilika pkl. 08.30. Karena Collegio jauh dari Vatikan, bersama beberapa teman, saya menginap di Kuria Jenderal Kapusin supaya bisa berangkat lebih cepat pagi hari. Dengan menumpang bus-bus penghubung yang disediakan Pemda secara gratis untuk semua orang hari ini, akhirnya kami sampai ke dekat Vatikan. Bus tak bisa bergerak lagi, dan kami mendapatkan diri terjebak di tengah kerumunan ribuan orang yang sudah sejak malam/subuh berjuang masuk Basilika. Wah, gawat... Jarum jam menunjukkan pkl. 07.15, padahal waktu berkumpul 08.30. Jarak sih tidak begitu panjang, mungkin hanya sekitar 300 m. Namun 300 m itu seperti menjadi jurang dalam yang tak terseberangi melihat lautan ribuan orang di depan kami. Di waktu kebingungan tak tahu harus buat apa (mau mendesak ke depan rasanya sia-sia, karena badanku ‘kan kecil), tiba-tiba dari belakang ada seorang kardinal yang maju ke depan. Rupanya beliau juga harus ke arah Vatikan dan melewati jalan yang sama (kami salah pilih jalan sebenarnya, belakangan kami tahu bahwa untuk para imam pembagi komuni ada jalan khusus yang bebas hambatan...). Maka saya mengambil kesempatan baik mengikuti beliau dan sekretarisnya. Dengan susah-payah kardinal itu membuka jalan untuk dirinya dan saya (plus beberapa kapusin di belakang saya dan beberapa umat yang mencuri kesempatan untuk maju terus, he..he..he...). Wuiiiih..., lebih kurang dua puluh menit terdorong-dorong ke depan dan ke belakang (dan diomeli mereka yang terdorong, wadduuuuhhhh.... malu juga, tapi apa boleh buat, karena waktu mendesak...), akhirnya berhasil mencapai juga pintu masuk ke dalam wilayah Vatikan.
Memang suatu pemandangan yang luar biasa, tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, melihat bagaimana seluruh lapangan Basilika S. Petrus dipenuhi ratusan ribu umat yang hadir. Berbagai bendera nasional dari aneka bangsa berkibar-kibar diayun oleh orang yang membawanya (Italia, Swis, Brasil, Amerika Serikat, dll.). Tentu saja bendera Polandia yang paling banyak. Seluruh umat yang hadir di dalam lapangan Basilika plus jalan raya di depan yang panjang ditambah berbagai jalan sekitar Vatikan bergabung menjadi satu dalam perayaan misa penguburan yang terbesar dalam sejarah gereja katolik (bahkan katanya penguburan religius terbesar dalam sejarah religius modern). Di Vatikan dan sekitarnya (dengan menonton dari layar raksasa) lebih dari satu juta umat yang hadir. Ditambah dengan semua umat yang juga mengikuti misa dari berbagai lapangan besar di Roma diperkirakan ada lk. 5 juta umat yang mengikuti misa tsb. Dan entah berapa ratus juta pasang mata manusia mengikuti secara langsung di seluruh dunia.
Misa penguburan ini juga semakin menegaskan kebesaran almarhum Paus Yohanes Paulus II. Belum pernah terjadi ada suatu peristiwa rohani yang mampu mengumpulkan begitu banyak pimpinan negara dari berbagai aliran ideologi dan agama di satu tempat sekaligus. Kalau di PBB tentu dapat dimengerti, karena itu dunia politik. Di tempat yang sama duduk Presiden Iran Khatami, Presiden Israel Sharon, Presiden Syria, Perdana Menteri Palestina, Presiden Bush dengan 2 mantan presiden, Pangeran Charles, Presiden Jacques Chirac, Sekjen PBB, Perdana Menteri Rusia, semua pimpinan negara Uni Eropa dan sekian banyak pimpinan negara lain plus 4 raja dan 5 ratu. Fidel Castro sebenarnya ingin hadir juga, namun sakit menghalanginya untuk berada pada momen bersejarah ini. Sayangnya utusan dari RRC tidak ada, karena mereka tidak mau bertemu dengan Presiden Taiwan yang hadir. Berbagai pimpinan agama dunia hadir baik Islam, Yahudi, Ortodoks Syria, Protestan dan tentunya semua kardinal Katolik plus sekian banyak Uskup dan pastor, biarawan/wati lainnya. Sungguh beliau boleh disebut sebagai “simbol dari masa kini”, simbol dalam arti asli Yunani berarti “mengumpulkan bersama”. Ya, almarhum Paus berhasil mengumpulkan semua orang yang berbeda agama dan ideologi dalam satu tempat yang sama dan beberapa yang berbeda politik toh berjabat tangan. Karena mereka muncul satu persatu ketika kami sudah duduk di bangku imam pembagi komuni, tentu wajah mereka dapat saya lihat dengan cukup jelas, walaupun agak jauh. Para pimpinan negara itu disusun menurut alfabet, sehingga berbagai pimpinan negara yang bermusuhan pun bisa duduk berdekatan dan berjabat tangan, ha..ha..ha..., misalnya Presiden Israel dengan Presiden Iran dan Presiden Syria. Bapa Paus yang sudah meninggal dunia pun masih meneruskan misi damainya.
Perayaan misa penguburan dimulai ketika perarakan peti mati kayu cemara yang sederhana dimulai. Tepuk tangan gemuruh umat meledak ketika peti mati itu muncul dari balik pintu utama pagar Basilika. Perayaan misa berjalan dengan khidmat dan kembali tepuk tangan umat bergemuruh berkali-kali diselingi teriakan-teriakan spontan umat, “Giovanni Paolo.... Giovanni Paolo....” (Yohanes Paulus.... Yohanes Paulus....) ketika Kardinal Ratzinger yang berkhotbah menyarikan inti hidup almarhum Bapa Paus. Bulu kudukku merinding mendengarkan seruan-seruan tersebut. Apalagi ketika Kardinal Ratzinger berkata, “Biasanya Paus Yohanes Paulus II muncul berbicara dan memberkati umatnya dari balik jendela apertemen di Vatikan. Namun kita yakin bahwa sekarang beliau sedang melihat dan memberkati kita dari jendela surga.” Tepuk tangan panjannnng sekali membahana menyambut spontan sebagai tanda meng-iya-kan pernyataan Kardinal Ratzinger.
Ketika selesai membagi komuni dan kembali turun ke wilayah umat, saya semakin merasakan bagaimana agungnya misa penguburan ini. Tatapan mata umat yang hadir terpaku ke layar raksasa yang menampilkan aneka adegan di wilayah altar, di atas peti mati yang menjadi alas kitab Injil yang sekali-sekali halamannya terbuka ditiup angin seolah-olah ditiup Roh Kudus (demikian judul koran-koran Italia yang sudah terbit malam ini). Tangan terkatup berdoa mengiringi doa pujian dari para imam ortodoks Syria dan ritus Timur. Dan ketika misa selesai, para kardinal beriring memasuki ruang Basilika S. Petrus untuk turun ke ruang bawah gereja tempat kuburan para Paus, para petugas beriring mengangkat peti mati untuk dibawa ke ruang kuburan itu. Spontan tepuk tangan bergemuruh dan saya pun tidak dapat menahan diri untuk ikut bertepuk tangan sekuat-kuatnya.... semua rasa seolah-olah mau dituangkan dalam luapan emosi tepuk tangan itu: penghormatan, kekaguman, syukur, sedih, gembira, dll... Entah berapa menit tepuk tangan itu berlangsung, tiada henti-hentinya, belasan menit, saya tidak tahu lagi.... Pokoknya semua yang hadir bertepuk tangan... Kulihat di sebelah kiriku, seorang pastor muda mengalirkan air mata deras sekali, namun tangannya juga keras bertepuk. Di belakangku umat berteriak-teriak keras, “Santo subito... Santo subito...” seperti tertulis dalam beberapa spanduk yang dibawa umat. Artinya “Segera (jadikan) Santo... segera (jadikan) Santo....” Yah, perasaan umat secara umum, almarhum Paus Yohanes Paulus II sudah seorang santo bagi mereka. Dengan perasaan bercampur aduk, mataku memandang peti mati yang pelan-pelan menghilang di balik layar yang memisahkan lapangan Basilika S. Petrus dengan bagian dalam Basilika. Tangan kami terangkat melambaikan ucapan selamat jalan, seolah-olah melambai pada seorang sahabat yang berangkat jauh ke negeri lain dan tidak tahu apakah akan berjumpa lagi. Tidak lama kemudian, setelah sadar bahwa upacara penguburan di bawah tanah tidak akan disiarkan (itu acara khusus untuk para kardinal saja), kami pun bubar dan pulang ke tempat masing-masing dengan perayaan istimewa.
Penutup
31 Maret – 8 April memang hanya seminggu lebih dua hari, namun semua peristiwa di dalam hari-hari ini membuat orang harus berpikir kembali tentang Tuhan yang Agung dan orang yang melayani Tuhan yang Agung itu, seorang Paus yang agung. Bagaimana mungkin orang ini dapat mengumpulkan begitu banyak orang dari segala penjuru dunia dan datang dari jauh (saya jumpa di bus hari ini seorang ibu dan anaknya datang khusus dari Australia), dari segala unsur politik dunia dan agama, dari orang paling sederhana (narapidana, kaum miskin, terpinggir) sampai orang yang sangat berkuasa (para raja, ratu, presiden) ? Bagaimana semua orang rela berpanas-panas berjam-jam sampai bermalam di jalan raya untuk sekedar melihat dan berdoa kurang dari satu menit ? Bagaimana mungkin selama hari-hari berat ini tidak ada sesuatu yang parah terjadi di tengah jutaan orang yang antri dan berseliweran di kota Roma dan sekitar Vatikan ? Bagaimana mungkin cuaca demikian bersahabat di musim semi ini sehingga hujan pun baru turun pada sore hari tgl. 8 April ketika semua orang sudah meninggalkan lapangan Basilika dan tidak harus antri atau bermalam di tengah jalan lagi ? Bagaimana ini... bagaimana itu... ? Banyak pertanyaan yang tak bisa dijawab secara logika manusia, apalagi logika politik dunia ini... Semua pertanyaan ini dapat dijawab dalam iman akan kebesaran dan keagungan Tuhan dan keagungan seorang manusia yang pernah melayani Gereja dan dunia selama lk. 27 tahun, Paus Yohanes Paulus II. Hari penguburan Paus Yohanes Paulus II, 8 April 2005. (P. Paulus Toni, OFMCap.)
No comments
Post a Comment